Topeng Singapadu, Tak Lekang Karena Waktu

Desa Singapadu adalah titik penting dalam peta seni topeng di Bali. Tradisi seni topeng di desa ini memiliki jejak dan latar historis yang sangat panjang. Berbagai catatat dan bukti sejarah lain menunjukkan bahwa masyarakat di desa ini telah mengenal dan menggeluti seni topeng sejak abad ke18, dan hingga kini tetap menggelutinya dengan takzim. Seolah kesenian ini telah menjadi bagian penting dari masyarakat Singapadu dan tak oleh waktu.

Untuk merayakan hal itu sebanyak 165 karya topeng kreasi 68 seniman dari Desa Singapadu, Gianyar, Bali,  dipamerkan di Bentara Budaya Bali hingga 13 Agustus 2017.

Kekuatan di balik topeng-topeng Singapadu yang dipamerkan itu tentu saja kandungan rentang sejarah, legenda yang unik, estetika yang unggul, ikonografi yang tepat, seniman-seniman yang hebat, dan kharisma yang terpancar dari setiap topeng yang diciptakan melaui proses pembuatan yang rumit.

“Semua itu menjadi satu kesatuan yang langka dan menjadi keunggulan Topeng Singapadu dibanding topeng mana pun di Bali,” ujar Prof. Dr. I Made Bandem, MA, kurator pada pameran ini.

Dalam format pertunjukan, sejarah topeng Singapadu ditampilkan lewat pentas Tari Barong Api yang menggambarkan kisah tentang Cokorda Agung Api, generasi pertama seniman topeng Singapadu. Ia terinspirasi membuat Barong Ket dari kilauan cahaya matahari. Tokoh ini adalah salah satu putra dari Dewa Agung Anom atau kerap dikenal sebagai Sri Aji Wirya Sirikan, Raja atau Dalem Sukawati yang berasal dari Klungkung.

Adapun pameran menghadirkan beragam tapel dari bentuk topeng barong (Bebarongan) atau topeng dramatari (Patopengan) hingga karya sejumlah seniman muda berupa topeng-topeng modern dan kontemporer. Di antaranya terdapat Tapel Barong Ket, Tapel Celuluk, Topeng Sidakarya, hingga topeng-topeng yang dipakai untuk seni tari hiburan.

“Setiap topeng seolah menegaskan eksistensinya tersendiri, namun secara keseluruhan terangkai tak terpisahkan sebagai jati diri masyarakat Singapadu,” sebut Bandem.|

Serangkaian pameran akan digelar pula sebuah timbang pandang pada Sabtu, 12 Agustus 2017. Pameran berangkat dari buku “Barong Kunti Sraya” karya Ni Luh Swasti Wijaya Bandem. Sebagai pembahas adalah Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA. dan I Ketut Kodi, SSP, M.Si. Timbang pandang tersebut akan diawali tayangan dokumenter Barong Kunti Sraya 1928 hasil direpatriasi yang dilakukan oleh STMIK STIKOM Bali,  dan Arbiter Cultural and Traditions New York.**

Sumber: Tempo.co

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *