Yang Meliuk dan Mendamba Hamparan

Bermain layang-layang berukuran jumbo sudah mentradisi di Bali. Namun tradisi itu kini dibayangi kekhawatiran akan punah sebab lahan untuk menerbangkannya semakin menyempit. Segenap pihak terkait harus turut memikirkannya secara serius.

 

Maria Ekaristi

Tak kurang dari 641 layang-layang berukuran jumbo mengudara secara bersamaan pada siang pekan ketiga bulan Agustus itu. Maka langit biru di atas pesisir timur Kota Denpasar itu pun jadi tampak semarak. Persis seperti aquarium yang dipenuhi ikan-ikan hias yang meliuk-liuk gemulai.

Tapi itu belum seberapa.  Pernah tiga sebelum itu, tepatnya pada 23 Agustus 2014, langit di atas kawasan Sanur semarak oleh lanyang-layang beraneka ragam yang terbang bersamaan. Jumlahnya 1.740 layangan. Maklum, hari itu adalah puncak acara Lomba layang-layang dalam rangka Sanur Village Festival 2014. Itulah rekor jumlah layangan terbanyak yang mengudara dalam waktu bersamaan di Pulau Dewata.

Soal layangan, banyak hal spektakuler yang terjadi di Bali. Entah dari ukurannya yang besar, jumlahnya yang banyak, hingga penggemarnya yang fanatik. Salah satu contoh, mengudaranya Nagaraja, sebuah layang-layang janggan super jumbo berbobot mencapai 707 kilogram! Dengan dorongan angin berkecepatan 13,2 knot per jam layang-layang janggan yang memiliki ekor sepanjang 250 meter itu mengudara dengan anggun. Padahal secara teoritis layangan seberat itu hanya mungkin terbang dengan dorongan angin berkecepatan minimal 15 knot per jam.

Banyak lagi cerita menarik tentang  layang di Bali. Sebab kegiatan ini menjadi hobby banyak orang dan memiliki akar kultur yang cukup dalam. Ia berawal dari tradisi agraris dan diberi spritual melalui legenda Rare Angon, Putra Dewa Siwa.

Kini, setiap musim layangan yang biasanya berlangsung di Bulan Juli hingga Agustus, ratusan komunitas penggemar layang-layang di Denpasar dan sekitarnya merayakannya dengan penuh suka-cita.

Dilihat dari sisi ekonomi (kreatif), hal di atas merupakan potensi yang luar biasa. Bayangkan, berapa uang berputar di setiap musim layangan sedari pembelian bambu, kain, tali, hingga penjualan makana dan minuman untuk para pelayang yang lapar dan haus usai menguras tenaga menaikkan layangan mereka yang berukuran besar.

“Ini potensi besar yang semestinya dihitung dan dikemas secara cermat,” cetus Ni Luh Djelantik, pengusaha sukses yang menggemari layang-layang, saat tampil sebagai pembicara dalam sebuah dialog budaya di Hotel Griya Santrian beberapa bulan lalu.

Menurutnya, jika dikelola secara baik, kegiatan yang sudah mentradisi ini pasti mendatangkan manfaat secara sosial atau ekonomi bukan saja pada saat musim layangan, melainkan pada bulan-bulan setelahnya.  Menurutnya banyak hal yang bisa digarap selain layang-layang yang diterbangkan seperti aksesoris, senirupa, miniatur, hingga fotografi layang-layang.

Untuk itu, lanjut Djelantik, pengembangan layang-layang sebagai industri harus didukung semua pihak, dan Pemerintah harus turut andil semisal menyediakan lahan yang kini semakin menyempit.

Tentang lahan bermain layangan, Andreas O. Green pengamat layang-layang asal Swedia menilai potensi besar layang-layang di Bali belum digarap maksimal. Bermain layangan dibiarkan sebagai kegemaran masyarakat yang hany asebatas kegemaran semata. Bukan dilihat sebagai potensi besar yang harus digarap secara serius. Padahal di Balilah satu-satunya di dunia aktivitas berlayangan yang akarnya melekat pada tradisi masyarakat secara umum. Andreas membandingkan bagaimana Perancis yang tradisi berlayangannya tak melekat jauh dalam tradisi masyarakatnya menyediakan lahan yang sangat luas untuk bermain layang-layang. Ia juga membandingkan dengan Diraja Malaysia yang menyediakan bukit khusus untuk bermain dan berfestival layang-layang, dan menjadikannya destinasi wisata lengkap dengan fasilitas hotel bintang limanya.

“Di Bali hal itu tidak terjadi. Semua bergerak sendiri-sendiri dan hanya sekedar hobby,” ucapnya.

Hal itu diakui oleh Made Yudha, Ketua II Bidang Lapangan Pelangi Bali. Menurutnya sejauh ini, aktivitas berlayangan masih dipandang sebatas kegemaran masyarakat saja.

“Belum ada langkah yang lebih jauh dari itu,” ucapnya.

Yang ironis, menurut Yudha, di tengah gegap-gempita aktivitas berlayangan pada setiap musim layangan, ada kekhawatiran tradisi layang-layang akan punah. Penyebabnya lahan tempat bermain layang-layang selama ini telah dikuasai investor dan kemungkinan akan mengubahnya menjadi hotel atau kepentingan komersial lainnya.

“Sejauh ini sih, memang belum ada tanda-tanda ke arah situ. Tapi alangkah baiknya masyarakat adat dan Pemerintah mengantisipasi hal itu demi kelestarian tradisi berlayangan ini,” harapnya sembari menegaskan bahwa layang-layang memang meliuk di udara namun ia memerlukan hamparan lahan luas untuk menerbangkannya. ***

Monez – Kita Perlu Acara yang Mempertemukan Kreator dengan Buyer

Monez, begitu ia karab di sapa. Padahal nama lengkap lelaki kelahiran 28 April 1981 ini adalah Ida Bagus Ratu Antoni Putra. Ia adalah ilustrator kenamaan Bali yang karya-karyanya sudah sangat banyak tersebar di berbagai media dan bidang, mulai dari buku, majalah, koran, halaman website, hingga dinding bangunan.

 

Kini alumni pasca sarjana jurusan Kajian Seni ISI Denpasar ini merupakan satu dari sedikit ilustrator Bali yang karyanya merambah mancanegara, semisalnegara-negara Australia, Amerika Serikat, Jerman, dan Mexico. Dialah salah satu pekerja kreatif Bali yang membuktikan bahwa Industri Kreatif mempunyai kemungkinan sangat besar untuk dieksplorasibagi kepentingan ekonomiyang menyejahterakan banyak orang tanpa harus merendahkan nilai karya kreativitas itu sendiri sebagai barang dagangan semata.

 

Medio September 2017 lalu I Wayan Artaya mewawancarai Monez di studionya ihwal kiprahnya selama lebih dari sepuluh tahun menekuni dunia ilustrasi. Berikut percakapan selengkapnya:

FOTO : I Wayan Martino

Sejak kapan menggeluti dunia Ilustrasi?

Sejak 2004. Ceritanya, pada tahun 2002 saat saya masih mahasiswa smester empat di DKV (Desain Komunikasi Visual –red) Universitas Udayana, saya nyambi bekerja sebagai reporter di Tabloid Magic Wave yang ditugasi meliput acara-acara extrim sport seperti Skateboard dan Trail. Kebetulan Magic Wave sekantor dengan Majalah Kartun Bogbog. Belakangan saya bekerja di kedua majalah tersebut. Di Magic Wave sebagai wartawan, di Bogbog sebagai loper sekaligus volunteer untuk event mereka.

Suatu hari, ketika istirahat siang, saya iseng menggambar di meja makan. Saat itu Jango Pramartha, owner Bogbog, melihat gambar saya dan tertarik. Dia meminta saya agar meneruskan gambar itu untuk dimuat di majalah Bogbog. Saya ragu. Mindset saya saat itu, gambar aneh macam yang saya buat adalah gambar jelek. Bagi saya gambar yang bagus adalah gambar yang sempurna bentuk dan garisnya.

Jango mematahkan cara pikir saya itu dengan mengatakan bahwa yang penting dalam menggambar itu ya harus menjadi diri sendiri. Tidak meniru siapa pun. Saya memenuhi permintaannya, dan setelah publikasi berjalan, ternyata gambar saya mendapat-

feedback yang bagus. Banyak pembaca meminta agar gambar saya ada lagi pada episode berikutnya.

Apa bentuk gambar Anda saat itu?

Comic streep berjudul “Urban Party”. Ceritanya tentang seorang anak muda penyuka dugem yang hidup di tengah hiruk pikuk kehidupan malam di Kuta. Komik itu menjadi semacam aksen di majalah Bogbog. Ia nyempil di antara kartun-kartun lain yang bertema budaya dengan goresan dan cerita yang lucu.

Sejak itu saya mulai percaya diri bahwa gambar saya diterima juga oleh masyarakat. Itulah pertama kali saya nyemplung langsung sebagai pembuat gambar dan ilustrasi. Selanjutnya saya pun mulai dikenal dan mendapat order. Saya pun memutuskan untuk serius di bidang ini.

 

Dari gambar-gambar yang Anda hasilkan, mana yang Anda paling anggap hebat?

Setiap kreator memandang kehebatan karyanya dengan cara berbeda. Bagi kreator yang gemar mengikuti perlombaan, mungkin karya terhebat adalah yang pernah meraih juara. Tapi bagi sayakarya yang hebat adalah yang paling kuat passionnya. Nah, karena saya menumpahkan perhatian hampir 100 persen pada setiap karya yang saya buat –karena passion saya di situ, maka tidak ada karya yang saya anggap lebih menonjol dari karya yang lain. Semua hebat justru karena perbedaannya.

 

Dari mana bakat menggambar ini Anda warisi?

Dari kakek. Beliau seorang pelukis kaca yang pada eranya membuat lukisan kaca bermotif wayang untuk ornamen di dinding pelinggih (bangunan) pura. Sekarang seni lukis macam itu sudah tidak ada lagi. Sayangnya tidak ada satu pun rekam karya atau rekam foto dari karya-karya beliau.

Foto by I Wayan Martino

Dari mana order pertama kali?

Dari Yayasan Gelombang Udara Segar, GUS, yang berkantor di Kuta.Yayasan itu bergerak di bidang lingkungan. Di situ dari tahun 2004 hingga 2008 saya membuat ilustrasi untuk kebutuhan visual atau promosi mereka.

Lalu berlanjut ke yayasan-yayasan lain seperti Yayasan Gili Echo Trash dan Echo Bali. Dengan yayasan-yayasan itu saya berkolaborasi sehingga terbentuk karakter saya dalam menggambar. Karena lebih banyak menggarap isu lingkungan dengan target penikmat kalangan anak-anak, gambar saya pun selalu fun dan colorfull. Itu menjadi ciri saya hingga sekarang.

Lalu bagaimana ceritanya tentang karakter monster jenaka yang Anda ciptakan?

Karakter monster ini, ada banyak hal sebenarnya. Pertama, dari segi bentuk, saya tidak suka menggambar dan belum mahir menggambar realis. Ketertarikan saya kearah situ, tidak cukup kuat. Saya tidak suka terikat oleh aturan-aturan bahwa gambar itu salah,

kamu salah membuat mata, kamu salah membuat tangan, dan sebagainya… Saya lebih suka kebebasan dan monster itu memberi ruang kebebasan itu. Kalau Anda mebuat monster dengan satu atau tiga mata, tidak ada yang menyalahkan. Namanya juga monster, hahaha…

Kebebasan itulah yang membuat saya nyaman dalam bereksplorasi. Saya bisa membuat monster dalam berbagai bentuk dan itu menjadi eksperimen yang sangat menarik bagi saya.

Alasan lainnya, monster ada banyak kaitannya dengan budaya Bali, tempat saya lahir dan bertumbuh. Dengan bahasa berbeda, kita punya banyak urban legend di Bali. Beberapa karakter dalam cerita rakyat Bali, bagi orang di luar negeri, itu monster. Barong, rangda, dan beberapa karakter lain kalau dilihat dari kacamata Barat, itu monster. Jadi hal-hal yang mistis dan misterius, saya sebut sebagai monster.

Alasan ketiga, monster itu merupakan perumpamaan dari spirit. Bagi saya, setiap orang memiliki moster di dalam dirinya. Ada gelora di situ. Misalnya seorang penulis, saat menulisakan sangat powerfull. Monster dalam dirinya adalah monster penulis. Atlet lari, menyimpan monster yang bisa berlari kencang dalam dirinya.Pada diri saya, ada monster yang suka menggambar aneh, hahaha…

Apakah nama “Monez” ada hubungannya dengan itu?

Sebenarnya namakecil saya Gusmang. Nama Monez itu muncul ketika SMA karena saya suka memakai baju Band Ramones, nama sebuah grup band luar negeri. Teman-teman sepermainan saya suka iseng memanggil Monez, Nez. Yang menarik, sebenarnya selepas SMA saya tidak ingin menggunakan nama itu lagi. Tapi saat perpeloncoan di kampus, ada syarat semua mahasiswa baru wajib punya nick name dengan lima huruf. Daripada pusing nyari nama baru, saya gunakan saja nama Monez lagi dan jadilah itu sebagai panggilan saya hingga sekarang.

Saya pikir, nama Monez mudah diingat sehingga saya jadikan sebagai brand saya. Spelling-nya juga mudah bagi siapa saja. Universal.

 

 

Foto by I Wayan Martino

Saat ini, ke mana pemasaran Monstero paling kencang?

Saya menjalankan dua bidang bisnis. Yang pertama, jasa ilustrasi dengan brand“Monez”. Bisnis ini sudah memiliki klien di berbagai negara di dunia antara lain diAustralia, Amerika Serikat, Jerman, dan Mexico.

Yang kedua, saya menciptakan produk dengan bran “Monstero”. Produknya berupa T’Shirt, tas, macbookcase, hand phonecase, note book case, kartu pos, poster, dan lain-lain. Yang ini baru beredar di beberapa kota di Indonesia.

Bagaimana situasi pasar berkartun di Bali dan Indonesia saat ini?

Peluangnya sangat banyak. Dalam dunia ilustrasi yang diperlukan adalah bagaimana membangun pasar yang sesuai dengan karakter ilustrasi masing-masing illustrator. Anda bisa menggambar bagus, perfect, tapi gayanya meniru gaya Jepang, di Bali itu tidak laku.

Untuk itu, dalam hal ini janganlah terkunci oleh batasan geografis. Jaman now internet kan sudah semakin kencang. Komunikasi antar negara menjadi semakin mudah. Kini tinggal pintar-pintar kita mencari market.Gambar-gambar monster di Bali tidak laku, tetapi ketika saya pasarkan di internet, marketnya malah besar di luar negeri.Jadi, kita harus pandai mencari pasar yang tepat dan tidak berkecil hati saat lingkungan sekitar tidak menerima karya kita.

Bagaimana tentang pesaing dan persaingan di bidang ini?

Persaingan memang semakin ketat.Karena itu kita harus pandai memunculkan diferensiasi produk kita.Ketika Anda bersaing dengan kualitas sama dengan yang lainnya, pasar akan memilih harga termurah. Tetapi ketika Anda menawarkan sesuatu yang berbeda pada persaingan tersebut, pasar pasti akan memilih Anda karena hanya Anda yang bisa membuat karya itu.

Anda sangat yakin aktivitas kreatif menjanjikan masa depan yang cerah…

Ya, karena memang sangat menjanjikan.Meski persaingan yang ketat membuatnya situasinya semakin sulit dari sebelumnya, tapi bisa!

Berkait urusan masa depan, dalam berkarya saya sekaligus memikirkan business cash-flow. Saya tak mau berkarya sambil mengemis. Jadi saya juga harus bisa menjadi entrepreneur. Harus bisa berpromosi, berkomunikasi dengan baik, dan memastikan harga sesuai takaran pekerjaan.

Bagaimana Anda mengatur itu semua?

Manajemen! Kuncinya di situ. Manajemen itu menyakup waktu, keuangan, dan tata kerja.

Banyak seniman yang susah memanajemeni diri sendiri. Sering melanggar deadline dengan alasan belum ada mood.

Menurut saya, cara berkarya dengan menunggu mood adalah cara berkarya yang usang. Mood bukan ditunggu mood tapi diciptakan. Sebab, industri tidak mau menunggu.Klien kan perlu jaminan agar perusahaannya berjalan seperti yang mereka rancang. Hari Kamis harus jadi desainnya karena hari Sabtunya dia harus promosi…. Semacam itu. Sebab itu kan berkait dengan hal-hal lain dan ada konsekwensi kerugian yang harus mereka tanggung.

Dilihat dari sudut pandang kesenian murni pun, jika berkarya dengan menciptakan mood, bukan menunggunya, akan lebih banyak karya yang mungkin kita hasilkan dan lebih banyak sisa waktu yang dapat kita gunakan untuk aktivitas lain seperti aktivitas sosial dan spiritual

Lalu, manajemen keuangan.Berkarya dan berhitung uang itu adalah dua hal yang berbeda. Otak kiri dan otak kanan. Saya sendiri tidak bagus dalam hal itu dan meminta bantuan istri untuk mengerjakannya. Jadi Anda perlu partner untuk mengerjakan hal yang tak mampu anda lakukan. Jangan mengerjakan semuanya sendirian. Jika Anda seniman, fokuslah mengatur waktu untuk berkarya dan menjaga mood untuk itu. Bidang lainnya, seperti keuangan, marketing ,dan sebagainya, serahkan pada yang ahli yang Anda percayai. Awalnya memang susah, tapi mulailah dengan orang-orang di sekitar kita.

Apa kendala eksternal berkarya dan berbisnis di bidang ilustrasi ini?

Kendala dari luar, masih banyak orang melihat industri ilustrasi itu sebagai kelas dua dibanding industri kreatif lain seperti arsitektur. Di Bali urutannya begini: pertama arsitektur, lalu fotografi, baru ilustrasi.

Arsitek itu sudah ada di areal yang tingkat pendapatannya cukup baik karena proyek yang membutuhkan arsitek sudah ada pendanaan yang cukup. Klien sudah memikirkan budget untuk jasa arsitek. Fotografi, juga hampir seperti itu. Orang-orang luar banyak ke Bali dengan tujuan itu. Artinya, budget untuk jasa ini sudah dianggarkan. Sedangkan ilustrasi masih optional. Misalnya, seseorang merencanakan mendirikan kafe dengan ilustrasi mural di dindingnya. Begitu tidak ada cukup uang, ya ilustrasinya dibatalkan saja. Tanpa ilustrasi itu usaha kafenya tetap jalan, kok. Nanti, kalau sudah ada budget baru muralnya diadakan.

Kendala lain, masyarakat Bali belum bisa memahami spesialisasi illustrator sehingga tidak bisa menghargai secara semestinya.

Apahal penting harus dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan industri ilustrasi ini?

Memperbanyak ruang sharing. Misalnya, saya ingin sharing pengalaman saya selama lebih dari sepuluh tahun menggeluti bidang ini yang intinya untuk meningkatkan derajat profesi ilustrator agar ditempatkan pada posisi semestinya.

Pemerintah juga kami harap memperbanyak regular event yang membuat ilustrator bisa memamerkan karya sekaligus bertemu dengan para “buyer”. Saat ini kita miskin acara yang mempertemukan kreator dengan buyer-nya. Jadi pada pameran itu peserta bisa langsung bertemu orang-orang perusahaan dan deal di tempat. Di situ ada portofolio review booth milik Youtube, Facebook, Line, Gramedia, dan lain-lain, di mana kita bisa menunjukkan secara langsung portfolio kepada representative mereka. Itu yang belum ada di Bali.**

Perayaan Clothing Bernama PICA Fest

Paradise Island Clothing Association (PICA) Fest diklaim sebagai festival clothing terbesar di Bali bahkan Indonesia Timur. Semangat muda yang terpancar dalam penyelenggaraannya membuat festival ini sangat dinanti-nantikan.

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Wayan Martino, Agung Bawantara

Ini adalah festival anak muda yang paling ditunggu di Bali. Betapa tidak, sebagian gairah muda mendapat salurannya pada festival ini. Ya, perpaduan antara clothing, musik,dan berbagai aktivitas komunitas memberi ruang yang sangat besar bagi ekspresi dan gaya hidup anak muda masa kini. Yang terbaru, ajang tahunan ini digelar pada awal Maret 2017 di Lapangan Parkir GOR Ngurah Rai, Jalan Melati Denpasar. Saat ini, penyelenggara telah bersiap-siap lagi untuk penyelenggaraan di tahun 2018.

“Penyelenggaraannya kemungkinan di bulan yang sama lagi. Tapi itu tergantung situasi juga mengingat tahun depan adalah saat-saat Pilgub,” ujar Febry Iswara, Public Relation PICA.

Gelaran PICA berawal dari terbentuknya asosiasi pengusaha clothing indie pulau dewata atau Paradise Island Clothing Association (PICA) pada awal 2014. Asosiasi ini dibentuk untuk menyatukan para pemilik clothing di Bali dalam sebuah festival yang saling menguntungkan dan saling membesarkan. Lahirlah PICA Fest.

 

 

FOTO : Dok PICA FEST

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Begitu digelar, festival ini ternyata membuahkan sukses besar bagi seluruh anggota asosiasi. Selain kunjungan ke distro masing-masing, kunjungan ke festival ini terus meningkat dari tahun ke tahun.Bahkan, pada tahun 2017 lalu dengan yakin mereka menarget kunjungan sebanyak 20 ribu orang setiap hari, dan itu tercapai!

“Dalam empat hari festival total kunjungan sekitar 80 ribu hingga 90 ribu orang,” terang Febry.

Sebagai pembanding, ketika pertama kali digelar, PICA Fest 2014 “hanya” dikunjungi 20.243 orang selama tiga hari. Pada2015 meningkat menjad I 34.980 selama tiga hari. Dan, tahun 2016 meningkat menjadi 58.384 orang selama tiga hari.

Seperti tahun-tahun sebelumnya PICA Fest tidak hanya merangkul para anak muda penggiat clothing indie di Bali, tetapi juga melibatkan banyak sekali komunitas-komunitas kreatif Bali. Dari komunitas perduli lingkungan, otomotif, sosial, tattoo, fotografi tentu saja music dan komunitas lainnya.

 

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Tapi yang paling ditunggu-tunggu tentu saja produk fashion indie Bali terbaru.Apalagi para tenan yakni 56 brand ternama tidak segan member diskon dalam prosentase yang cukup besar.

Tenda khusus dari Bali Indie Movement yang mewadahi band-band indie Bali juga menjadi magnet besar dalam acara ini. Di tenda akan dijual produk-produk merchandise asli dan rilisan fisik dari band-band yang tampil di PICA Fest 2017. Kurasi pemilihan brand peserta festival dilakukan dengan memperhatikan banyak faktor, selain kualitas brand-brand ini juga harus secara aktif menunjukan eksistensinya.

Menampilkan 60 lebih grup band indie di Bali, selain sebagai festival clothing terbesar, festival ini pun bergerak menjadi festival band indie terbesar di Bali. Ada pun barisan band-band kondang yang tampil antara lain Lolot, Jonny Agung, Navicula, Scared Of Bums, Devildice, dan Dialog Dini Hari. Tampil juga pendatang baru yang memetikperhatian public yakni Zat Kimia, Rollfast, Marco, Dromme, Janggar dan Lili of The Valley.***

 

Ekosistem Ekonomi Kreatif, Tuntutan Zaman Now

OLEH :

IGP ANINDYA PUTRA

Ketika pada 2014, UNESCO Creative Cities Network (UCCN) telah menawarkan kesempatan bagi berbagai kota untuk bergabung dalam jaringan kota kreatif dunia, Denpasar turut menjajal untuk masuk ke dalam jaringan tersebut. Sejauh ini, memang masih ada beberapa prasyarat yang harus dilengkapi untuk bisa tergabung, namun Denpasar tak jera untuk terus melangkah di jalur pembangunan ini.

Mengapa Denpasar getol menjadi Kota Kreatif? Disadari bahwa Denpasar tidak memiliki sumber daya alam yang memadai untuk membangun kotanya, maka tumpuan ada pada keunggulan sumber daya manusia dan budayanya. Budaya menjadi unggul apabila disertai kreativitas dan inovasi. Inovasi dan kreativitas yang dilandasi budaya lokal ini menjadi inspirasi mengembangkan kota kreatif.

Lalu, salah satu hal terpenting dari Kota Kreatif adalah gerak pembangunannya mengusung ekonomi kreatif yang berbasis pada gagasan dan inovasi. Itu artinya aktivitas ekonominya bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sangat ramah sumber daya alam, sebab gagasan kreatif mampu memberi nilai tambah pada hal-hal sepele menjadi susuatu yang luar biasa dan terbarukan.

Hal di atas sejurus itu dengan arahan Presiden RI untuk

menjadikan ekonomi kreatif sebagai tulang punggung ekonomi nasional, di mana  Kota Kreatif berperan penting untuk mendukung ekosistem kondusif dalam pengembangan ekonomi kreatif.

Kota Kreatif sebagai Solusi

Di luar arahan Presiden, kita sendiri tahu bahwa kota merupakan pusat peradaban yang terbentuk dari pergulatan kreativitas warganya. Kreativitas tersebut terus berproses untuk menjawab tantangan demi tantangan yang hadir setiap hari akibat bersilang-susupnya berbagai kepentingan warga kota. Kepentingan-kepentingan tersebut dapat berwajah ekonomi, politik, sosial-budaya, keyakinan, dan sebagainya. Membangun Kota Kreatif merupakan salah satu solusi jitu untuk menyelaraskan semua kepentingan warga kota sehingga mereka dapat hidup rukun berdampingan sebagai satu komunitas besar. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa kata kunci penting dalam Kota Kreatif adalah kolaborasi dan sinergi. Kita tahu, kolaborasi dan sinergi adalah kerjasama yang equal antara berbagai orang berbeda paham dan kepentingan untuk menciptakan sesuatu bagi kesenangan (baca: kesejahteraan) bersama.

Berkait itu, menjadi jelas bahwa pengembangan Kota Kreatif tidak bisa luput dari upaya pemberdayaan komunitas-

komunitas kreatif dan mengarahkan mereka agar saling bekerjasama dalam sebuah ekosistem yang kondusif. Karena itulah menjadi sangat relevan himbauan Pemerintah Pusat untuk bersama-sama menggalakkan ekosistem ekonomi kreatif, bahkan lebih dari itu, untuk menumbuhkannya dari akar rumput. Tentu saja setelah tumbuh harus dirawat bersama-sama sehingga pelaku kreatif bisa semakin ramai dan ekonomi bertumbuh.

Kenyataan saat ini, sebagian besar pekerja kreatif masih bekerja sendiri-sendiri dan enggan untuk turut bersama-sama menciptakan sebuah ekosistem yang saling mendukung. Padahal, sejarah mencatat bahwa kemajuan di bidang apa pun tidak pernah terwujud tanpa sokongan ekosistem dari kelompok-kelompok yang berkait secara langsung atau tidak langsung dengan bidang itu. Tanpa ekosistem, semua akan bekerja sendiri-sendiri dan meluputkan kemungkinan melahirkan sesuatu yang besar berkat tambahan kemampuan dari pihak lain untuk menyempurnakan hal-hal yang mereka kerjakan.

Di tengah ekosistem yang kondusif orang-orang kreatif menjadi lebih potensial dalam berkarya. Sebagai contoh sederhana, crossing collaboration antara perajin endek dan fashion designer di Kota Denpasar telah membuka berbagai peluang baru.  Produk perajin endek yang unik yang semula hanya dipasarkan di satu titik tertentu ketika digandeng dan dibrand-

ing  sedemikian rupa oleh fashion designer jadilah produk baru yang berdampak pada kesejahteraan keduanya. Lapangan kerja pun semakin lebar terbuka.

Tugas Bersama

Jadi, salah satu kerja besar dalam membangun Kota Kreatif adalah merangsang tumbuhnya ekosistem-ekosistem ekonomi kreatif yang memungkinkan semua pegiat ekonomi kreatif memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan (bisnis) kreatif mereka dari segi kuantitas maupun kualitas.

Merujuk berbagai teori pengembangan Kota Kreatif, idealnya pihak yang harus terlibat dalam penumbuhan ekosistem ekonomi kreatif adalah komunitas, akademisi, pelaku usaha, pemerintah, dan media  (penta-helix). Kolaborasi dan sinergi kelimanya akan memunculkan ekosistem-ekosistem yang khas yang kelak akan menjadi keunggulan setempat dan menjadi landasan menentukan langkah-langkah strategis dan prioritas program untuk mendorong peningkatan ekonomi guna kesejahteraan bersama.

Singakt kata, meminjam istilah anak muda sekarang, zaman now bukan lagi era bekerja sendiri-sendiri. Saatnya membangun kolaborasi dalam ekosistem ekonomi kreatif yang sehat.***

 

Penulis adalah Kepala Badan Kreatif Denpasar

Bali Permata – Yang Berkilau dari Kertalangu

Bali Permata Ceramic adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kerajinan lukisan keramik. Mengusung tag line “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting”, usaha kerajinan ini sukses merambah pasar dunia dan eksis melewati tiga dekade.  

Maria Pankratia & Agung Bawantara

SEKITAR awal dekade 1980 an I Nyoman Reken (almarhum) mendirikan “Bali Permata”, sebuah usaha kerajian yang memproduksi cindera mata lukisan di atas keramik. Ihwal pendirian usaha keluarga itu berawal dari perkenalan Reken dengan Renhilde Jonath, pelukis keramik kebangsaan Australia yang melancong ke Bali dan menginap di Bali Beach Hotel (sekarang Inna Grand Bali Beach Hotel – red) tempat Reken bekerja sebagai house keeper.

Entah bagaimana mulanya, Renhilde menyarankan Reken menggeluti usaha ceramic painting yang belum ada di Bali. Saran itu langsung disetujui Reken. Agar usaha itu bisa berjalan, tentu saja Reken meminta Renhilde mengajari seluk-beluk seni lukis keramik hingga ke detil-detilnya. Kali ini,  Renhilde yang balas mengiyakan tanpa pikir panjang. Merasa akan mendapat pelajaran berharga untuk perbaikan kondisi keluarga di masa depan, Reken mengajak keluarga dan beberapa kerabatnya untuk turut belajar.

Benar saja, setelah mendapat pelajaran dan segera memulai usaha keramik lukis di sebuah gubuk sederhana di tepi Timur Kota Denpasar, “Bali Permata” besutan Reken menjadi pemain utama pada kerajinan ini sekaligus mengantar keluarga dan kerabatnya melanglang lintas benua mengunjungi berbagai negara untuk memasarkan karya-karya mereka.

Yang istimewa presiden dan petinggi beberapa negara mengoleksi karya-kara lukisan keramik bercorak gaya Batuan, Pengosekan, Kamasan, dan Young Artist itu sebab hampir semua Presiden RI menjadikannya sebagai cindera mata untuk tamu negara yang berkunjung ke Indonesia.

Seperti apa perjalanan “Bali Permata” hingga eksis melebihi tiga dekade, Maria Pankratia dan I Wayan Martino dari Denpasar Kreatif mewawancarai I Putu Yuliartha, putra sulung Reken yang kini meneruskan perusahaan kerajinan tersebut. Berikut petikannya:

Bagaimana mulanya produk “Bali Permata” dikenal hingga ke mancanegara?

Waktu mendirikan usaha ini sesungguhnya dia juga bekerja di Bali Beach Hotel (sekarang Inna Grand Bali Beach Hotel). Di saat tidak bertugas, ayah saya nyambi sebagai tour guide. Nah, ketika melakukan guiding untuk turis dari luar negeri itulah ayah mulai memperkenalkan produk kami kepada tamu-tamunya.

Dalam tempo yang tak terlalu lama, produk-produk yang ditawarkan ayah laku terjual. Saya lupa berapa harga perlembar lukisa keramik saat itu…  Seingat saya sekitar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Sekarang, produk yang sama kami jual Rp2 juta hingga Rp3 juta.

Tapi, meski mendapat tanggapan yang sangat baik dari para turis saat itu, hasil yang kami dapat tak cukup untuk mendongkrak perusahaan menjadi lebih besar lagi. Hingga beberapa tahun perusahaan kami bergulir secara sangat sederhana: bikin produk, kasih harga, tawarkan, ada profit, jual.

I Putu Yuliartha
Photo by I Wayan Martino

Bagaimana selanjutnya?

Dalam perjalanan akhirnya kami dikenal oleh Pemerintah dan melalui Dekranasda dan Dinas Perindustrian kami diberi kesempatan berpameran di PKB (Pesta Kesenian Bali – red). Itu masih sekitar akhir 1980an. Pada saat itulah Ibu Tien Soeharto (ibu negara saat itu –red) lewat dan melihat produk kami.  Ibu Tien tertarik dan menunjukkan produk kami pada Presiden (Soeharto) yang juga langsung tertarik begitu melihatnya.

Beberapa waktu setelah itu kami mendapat undangan ke Jakarta untuk berpameran. Tapi, dasar orang desa, kami justru merasa gentar. Maklum kami belum tahu sama sekali Jakarta itu sepert apa, siapa yang harus dituju di sana, bagaimana cara membawa barang ke sana, dan sebagainya.

Belakangan, setelah kami tak berangkat, barulah ada penjelasan tentang bagaimana hal-ihwal mengikuti pameran kerajinan atas rekomendasi pemerintah.

Pada 1991 kami diundang kembali perpameran di Jakarta.  Kami datang. Waktu itu pamerannya di JCC (Jakarta Convention Center – red). Saat-

itu kami memboyong semua produk yang kami miliki. Kayak orang pindahan ke Jakarta, hahaha…  Itu, lagi-lagi, karena kami tidak tahu bayangan tentang situasi Kota Jakarta.

Tak diduga, dalam pameran yang berlangsung  14 hari tersebut, pada  hari ke empat produk kita sudah habis terjual. Jadi kami kayak orang kaya baru waktu itu.

Meski begitu, kami tetap macam orang asing di Ibu Kota. Kami tidak tahu hendak kemana setelah barang kami habis terjual. Jadi kami hanya jalan-jalan di sekitar pameran dan di situlah ayah mendapat lebih banyak wawasan tentang industry kerajinan.

Apa yang membuat produk keularga Anda laku terjual saat itu?

Entahlah. Mungkin kualitasnya. Saya tidak tahu. Tapi seingat saya Menteri Pariwisata, Joop Ave, dan Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, ikut mempromosikan produk kami. Mungkin ini menjadi semacam jaminan bagi konsumen mengenai kualitas produk kami.

Selanjutnya?

Pada sebuah pemeran kami bertemu dengan Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto –red), ketua sebuah yayasan yang membina perajin-perajin tradisional di seluruh Indonesia. Waktu itu, diantar oleh seorang kerabat, ibu saya bertemu Mbak Tutut yang selanjutnya memasukkan perusahaan kami dalam daftar usaha binaannya.

Semenjak itulah perusahaan kami masuk ke bursa nasional dan internasional. Mengikuti mekanisme yang berlaku pada saat itu kami mendapat dukungan berpameran di berbagai tempat di dalam dan luar negeri. Melihat kemanfaatannya, begitu merasa sudah mampu melakukan sendiri, meski pada saat-saat tertetu kami tidak mendapat fasilitas pemerintah untuk berpameran, keluarga kami tetap memutuskan untuk mengikuti pameran atas biaya sendiri.

 

Siapa saja yang melukis pada awalnya?

Ya ayah saya. Tapi ayah saya tidak intens melukis. Ia lebih banyak coloring. Itu karena dia nyambi bekerja di hotel dan memasarkan produk saat menjadi tour guide.  Yang banyak melukis adalah saudara saya, saya sendiri, dan beberapa kerabat lainnya.

Kami kan dari Gianyar. Jadi kegiatan melukis bukan bukan hal rumit bagi kami sekeluarga. Saya sendiri yang waktu itu masih SMP sudah bisa melukis karena pengaruh lingkungan.

Kini berapa karyawan di perusahaan Anda?

Jumlah karyawan kami naik-turun. Mula-mula 30 orang. Selanjutnya terus berkurang. Sekarang, tinggal tujuh orang.

Kenapa demikian?

Perubahan situasi yang menyebabkan demikian. Kami mengurangi karyawan ketika terjadi krisis ekonomi dan puncaknya pada kejadian bom di Kuta.

Tapi kami tak mau terpuruk terlalu lama. Perubahan situasi ini kami gunakan sekaligus untuk mengubah pola kerja kami agar lebih efisien dan perusahaan bisa bertahan. Kami mengubah skema kerja. Karyawan yang dulu bekerja di workshop, kini kami bebaskan untuk bekerja di rumah sehingga mereka dapat mengatur waktu mereka untuk mencari income tambahan atau mengerjakan aktivitas sosial di desa. Dan itu terbukti membuat kami mampu bertahan hingga kini.

Bagaimana perkembangan pasar yang perusahaan Anda alami selama lebih dari 30 tahun ini?

Pasar terus berubah-ubah. Dulu, di awal-awal usaha kami menanjak, apa pun lukisan yang kami buat pada produk kami pasti laku. Belakangan, hal itu berubah. Orang mulai memilih-milih dan cenderung

Foto by I Wayan Martino

memilih yang premium. Kalau suka, mereka beli tanpa memperhitungkan harga. Yang penting mereka tahu kulaitas produk yang akan mereka beli itu terjamin.

Jadi tidak massif lagi?

Memang dari awal tidak massif. Kita kan produk rumahan. Tapi belakangan, pasar kami lebih mengerucut ke premium dan kami meladeni pasar di wilayah itu.

Seperti saat ini, kami sedang melayani pesanan dari Istana (Kepresidenan –red)…

Masih sering mendapat pesanan dari Istana Presiden?  

Hampir semua Presiden RI  pernah memesan produk kami. Ada sih beberapa presiden yang tidak memesan produk kami tapi sebagaian besar presiden kita pernah memesan produk kami untuk souvenir bagi tamu-tamu negara yang dijamu di Istana.

Telah dipasarkan ke mana saja produk-produk Anda?

Ke berbagai negara di Eropa, Asia, dan Australia. Kami beredar dari pameran ke pameran. Lalu ada yang datang ke tempat kami, seperti dari Jerman, misalnya, dulu sampai tiga kali dalam setahun. Mereka datang, memilih, membayar, dan mengirim sendiri ke negaranya. Bayarannya cash.

Jadi transaksinya sangat sederhana. Karena dalam berbsinis kami memang orthodox, hahaha..

Kenapa begitu?

Ya karena kami industri rumahan. Kalau ada yang mesan 1000 item, misalnya,  belum tentu kami mampu memenuhi pesanan itu. Kami hanya memenuhi pesanan semampu kami. Karena itu kualitas kami jaga dengan sebaik-baiknya.

Apa rahasia sukes usaha kerajinan keramik Anda?

Kekhasannya. Produk kami tiada duanya. Orang tidak mungkin menemukannya di tempat lain.

Bahkan antara satu produk dengan produk lain yang kami buat pun tidak ada yang sama persis. Masing-masing unik.

Dari sekian puluh tahun perjalanan, apa masalah utama perusahaan Anda?

Knowladge. Pengetahuan menganai seni lukis keramik kan adanya di luar. Untuk maju kita harus sering keluar negeri untuk belajar.  Saya kerap pergi ke Australia dan Eropa untuk belajar tentang seni lukis keramik.

Masalah lain, soal material. Sebagian besar material yang kami gunakan dalam produksi harus kami impor.  Ini berpengaruh pada harga produk yang ujungnya menurunkan daya saing kami di pasar internasional.

Masalah selanjutnya adalah soal sumber daya manusia. Ini lebih berkaitan dengan manajemen yakni bagaimana mengatur sekelompok pekerja seni agar dapat bekerja bersama dalam satu sistem kerja.  Ini

sangat sulit. Anda tahu bagaimana para seniman bekerja, mereka sering moody..

Bagaimana Anda mengatasinya?

Masalah bahan, kita datangi ke negara  asalnya. Walaupun ada internet , tetap saja pada saat-saat tertentu kita perlu hadir langsung untuk memastikan beberapa hal penting yang sangat berpengaruh terhadap kualita sproduk.

Soal tenaga kerja, kami menjadikan kondisi itu sebagai potensi. Kami bebaskan mereka berkarya sesuasi ritmenya sendiri sehingga masing-masing memiliki kekhasan.

Foto by I Wayan Martino

Yang penting, mereka menepati tenggat waktu yang disepakati bersama. Selanjutnya, kami jual keunikan mereka sebagai karya yang tak ada duanya. Jadi kami mengubah kelemahan mereka menjadi keunggulan… Hanya saja, kita harus pandai-pandai memadukan ritme mereka agar tak bertabrakan satu dengan yang lain.

Bagaimana soal pemasaran?

Di pasar lokal tidak ada masalah. Untuk pasar luar negeri, kami menghadapi masalah packaging. Itu dikarenakan produk kami merupakan barang pecah-belah. Pembeli dari luar negeri sering ragu terutama kalu mereka ingin membeli produk yang berukuran besar. Kalau yang berukuran kecil sih no problem.

Bagaimana dengan persaingan?

Itu juga masalah penting, tapi kami tak menjadikannya sebagai persoalan yang harus diadukan ke pihak lain karena dalam setiap usaha persaingan selalu ada. Kitalah yang harus pintar membuat strategi untuk memenangi persaingan. Setidaknya survive di ceruk yang kita pilih.

Siapa pesaing terberat?

China! Mereka rajanya soal keramik.

Pernah ke China untuk studi banding?

Pernah. Saya juga pernah ke Jepang membawa produk kami. Saat itu produk kami menjadi produk unggulan ASEAN. Kami menjadi duta ASEAN ke Jepang untuk ASEAN Center. Kurator Jepang terpesona melihat lukisan keramik kita. Mereka kagum kita bisa melukis seperti itu di atas keramik. Namun, tetap saja,  dibanding China kita kalah.

Kekalahan kita pada bahan. Bahan keramik China lebih light tapi kuat sehinga produk keramik mereka secara keseluruhan menjadi lebih bagus. Tapi ini kan bukan permasalahan kami. Kami kan hanya painting.

Kekalahan lain kita dari China untuk perdagangan di Jepang adadalah soal jarak. Pengiriman dari Indonesia ke jepang, lebih lama ketimbang pengiriman dari China ke Jepang. Tapi secara desain mereka mengakui bahwa desain kita tiada duanya karena mengusung desain Bali.

Foto by I Wayan Martino

Bagaimana rencana pengembangan ke depan?

Ke depan kami akan mengubah pola produksi. Setahun lagi mereka para karyawan kami yang kini berproduksi di rumah masing-masing akan kembali bekerja secara reguler di workshop kami. Bukan karena sekarang lebih banyak pesanan dibanding sebelumnya, tetapi karena usaha ini akan kami ubah menjadi sebuah company yang tidak lagi hanya membuat produk. Jadi nantinya company kami juga akan melayani kursus. Nantinya pengunjung bisa melakukan painting sendiri dengan bahan dan desain yang kami siapkan.  Mudah-mudahan awal tahun depan sudah terealisasi.

Bagaimana gagasan baru ini muncul?

Saya melihat sejauh ini teknik melukis di keramik belum banyak tersebar luas di Bali.  Jadi kami merasa perlu untuk turut menyebar luaskan.

Itu yang pertama. Alasan kedua, setelah sekian tahun berjalan saya berpikir bahwa perusahaan ini semestinyalah tidak hanya menjadi pusat pembuatan produk saja tetapi juga sebagai pusat edukasi. Menurut saya yang terakhir itu akan menambah value bagi perusahaan dan kami-kami yang menjalankannya.

Pertimbangan rasionalnya begini, sebagai perusahaan keluarga, sangat jauh kemungkinan kami untuk menjadi industri besar yang padat modal. Sebab kompetitor sudah sedemikian banyak dan majunya. Jika bertahan sebagai produsen saja, kami khawatir suatu saat akan tergusur oleh keadaan karena para painter kami tentu punya batas usia produktif di mana pada titik tertentu pasti akan mengalami kemunduran kemampuan dalam berkarya. Down grade.

Selama ini kami tertutup. Kami tak terlalu memikirkan kemungkinan untuk berbagi pengetahuan.  Setelah melakukan introspeksi, kami membaca bahwa ada ruang-ruang kosong yang tak mungkin kami isi sendiri secara penuh sementara ada ruang-ruang lain yang belum terisi dan bisa kami isi.

Loncatan berpikir yang luar biasa..

Terima kasih.

Selain itu, kami juga sedang mengumpulkan produk-produk lama yang sebenarnya sudah kami jual . Saya ingin di tempat usaha kami juga ada museum keramik lukis.

Singkat kata, ke depan kami berencana untuk mengubah diri menjadi  pusat pengembangan ceramic painting di Indonesia.

Ada himbauan bagi anak muda yang ingin terjun ke dunia yang sama?

Untuk kreator muda, mungkin saya agak mengalami fase yang berbeda zaman dengan generasi now.  Di zaman saya, segala hal sulit di dapat. Tantangan kita lebih berat pada saat itu untuk mencari tahu.  Sekarang, dengan ketersediaan informasi yang sedemikian deras dan canggihnya, rasanya hingga ke kolong-kolong mana pun informasi bisa kita temukan. Harusnya hal itu membuka peluang lebih luas bagi para kreator muda. Namun dengan berbagai teknologi yang sudah berkembang, ada satu hal yang tidak

boleh kita lepas yakni akar kultur yang menjadi faktor pembeda kita dengan para pesaing kita.

Sebagai contoh, kami megambil gaya dan spirit seni lukis Bali dan bisa bertahan di persaingan global. Bayangkan jika kami mengangkat lukisan China ketika bersaing di pasar global…  tentu akan kalah jauh..  Apalagi sekarang barang print sudah begitu membombardir. Dengan harga yang sangat murah orang sudah bisa mendapat keramik bergambar. Dengan Rp25 ribu orang sudah dapat mug dengan foto digital. Nah, dengan mengangkat kultur Bali, kami bisa menjual barang serupa dengan harga Rp400 ribu.

Dalam hal ini kami menghadirkan pride orang-orang tentang Bali. Kepada semua orang kamu berkata melalui karya bahwa kami memindahakan keindahan Bali ke rumah mereka melalui lukisan keramik. Tag line kami “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting.”

Apa harapan Anda untuk Pemerintah?

Pemerintah harus menyediakan lebih banyak ruang bagi pelaku industri kreatif untuk berekspresi lebih leluasa; memperbanyak pelatihan manajemen; memperbanyak informasi akses permodalan serta cara mengaksesnya; mendorong kemampuan kepemimpinan kreatif di komunitas-komunitas; serta membuat regulasi yang mengatur bagaimana fasilitasi Pemerintah harus dijalankan. Hal terakhir ini guna menghindari kemalasan dan kemanjaan pada pengusaha yang bergantung pada fasilitasi. **

Spin Sugar – Putaran Manis Vinyl-vinyl di Hari Kamis

Spin Sugar

Sebuah komunitas pecinta musik, DJ, dan kolektor piringan hitam menggelar acara dwi mingguan bertajuk “Spin Sugar| Play Vinyl + Share Story” di sebuah café di Jalan Veteran, Denpasar. Bergiliran mereka memutar dan membicarakan koleksi rilisan fisik milik mereka dan cerita di sebaliknya.

 

 

Foto-foto : Istimewa

AB Antara

Hujan cukup lebat mengguyur Kota Denpasar Kamis malam itu.Tidak seperti beberapa ruas jalan lain di pusat kota yang menjadi tersendat begitu hujan turun, ruas Jalan Veteran justru lebih lengang dari biasanya. Entah kenapa, suasananya malah nyaris seperti jelang tengah malam.Hanya sesekali saja tampak kendaraan melintas. Toko-toko dan warung-warung pun tak ramai pengunjung.

Tapi tak demikian halnya dengan Voltvet Eatery & Coffee yang terletak di Jalan Veteran No. 11A, beberapa belas meter di sebelah utara Inna Bali Hotel, Denpasar. Di kafe mungil itu belasan pegiat kreatif dan peminat seni justru tampak tengah bergairah dalam diskusi. Kebetulan malam itu DJ Jay Dee memaparkan topik menarik yakni how toscratching vinyl, salah satu teknik dasar dan utama yang harus dikuasai seorang Disk Jockey (DJ). Setelah diskusi, meningkahi guyuran hujan, DJ Yoga menghibur pengunjung dengan lagu-lagu prog-rock (rock eskperimental) koleksinya.

Itulah gelaran Spin Sugar yang malam itu digelar untuk yang ke20 kalinya. Kecuali suasana lengang jalanan karena hujan, seperti itu pula suasana Spin Sugar pada volume-volume sebelumnya.

 

Foto-foto : Istimewa

Spin Sugar sendiri adalah acara dwimingguan yang digelar oleh komunitas pecinta musik, DJ, dan kolektor piringan hitam di Kota Denpasar dan sekitarnya. Acara biasanya digelar pada hari Kamis pekan pertama dan ketiga. Inisiator dari acaradan komunitas ini adalah Ridwan Rudianto dan Marlowe Bandem, dua sahabat masa remaja yang dikenal aktif dalam domain seni dan budaya kontemporer Bali.

DesakanKawan di Jepang

Awal mula pendirian komunitas ini tak lepas dari anjuran seorang teman Ridwan yang berdomisili di Jepang dan berbisnis vynil lawas di sana.Oleh sang teman, vinyl-vinyl tersebut antara lain dikirimke Jakarta untuk dipasarkan kepada para kolektor. Saatitu di Jakarta sudah terdapat banyak komunitas penggemar vinyl dan rilisan fisik yang bursa penjalannya antara lain di Pasar Santa.

Ridwan adalah kolektor vinyl dan rilisan fisik lainnya yang getol berburu ke berbagai penjuru negeri. Melihat itu, si teman menyarankan agar Ridwan sekalian saja membuka usaha penjualan vinyl di Bali. Saran itu sempat lama dalam pertimbangan sebelum akhirnya direalisasi saat musisi Bobby SID mendirikan Voltvet Café di pusat kota Denpasar. Di situlah Ridwan membuka counter vinyl lawas dan belakangan bersama Marlowe menggagas acara putar lagu bareng dan berbagi cerita untuk menjadikan tempat itu bukan sekadar bursa biasa. Lahirlah“Spin Sugar| Play Vinyl + Share Story”.

Konsep acaranya sederhana saja,  Spin Sugar mempersilahkan para penggemar vinyl untuk memutar satu-dua vinyl koleksi mereka kemudian menuturkan kisah di balik koleksi

tersebut, entah mengenai kisah mereka mendapatkan koleksi itu atau makna dari lagu-lagu yang terdapat di dalamnya bagi pribadi mereka sendiri.

“Yah, semacam ruang berbagilah kepada sesame penggemar, pecinta, dan kolektor rilisan fisik,” papar Ridwan.

Di luar itu Spin Sugar juga merupakan ajang pertukaran, penjualan dan pembelian rilisan fisik itusendiri. Jadi, semacam bursa jual-beli rilisan fisik berupa piringan hitam, CD dan kaset yang dalam dua decade terakhir ini telah menjadi barang langka.

Tak berapa lama setelah Spin Sugar digelindingkan, Andhika Gautama bergabung memperkuat formasi. Ketiganya kemudian menjadi trio penggerak acara yang mereka kukuhkan sebagai perayaan atas kecintaan terhadap musik, khususnya dalam format rilisan fisik seperti piringanhitam, CD,dan kaset.

“Sejauh ini, telah banyak penggemar, pecinta, dan kolektor rilisan fisik berpartisipasi memperdengarkan lagu-lagu dari piringan-piringan hitam koleksi mereka. Genre lagunya beragam, dari punk sampai funk, dari folk sampai deep-house,” imbuh Marlowe.

Tapi, tambahAndhika, hingga kini masih banyak kolektor yang enggan menuturkan kisahnya berkait koleksi-koleksi yang mereka punyai.Tapi dalam obrolan antar personal semuanya selalu tampak senang dan bergairah.Terutama dalam pemilihan lagu-lagu yang harus diputar dan didengar bersama-sama.

“Mereka bergantian menjad iselektor dan dalam berargumentasi saat memilih lagu menunjukkan kedalaman apresiasi musical mereka,” ujar Andhika sembari menuturkan bahawa dalam setiap gelaran rata-rata20 hingga 30 lagu diputar dan didengarkan bersama-sama.

Kini, sebagai orang yang memilikikoleksirilisanfisikpaling banyak, paling telaten, dan paling menguasaiberbagai info ihwalrilisanfisikdibandingkanpenggerak Spin Sugarlainnya, Andhika GautamadidapuksebagaiResident DJ darigelaranregulermerekaitu.

Ke depan, ketiga trio Ridwan, Marlowe dan Andhika bersepakat mengarahkan Spin Sugar untuk lebih dalam membahas hal-ha lpenting seputar rilisanfisik sedari hal-hal praktis mengenai rilisan fisik semisal kiat merawat koleksi piringan hitam hingga ke hal-hal lebih luas yang menjadikan setiap rilisan fisik memilik inilai yang berpuluh kali lipat nilai fisiknya.  Kelak, acara ini tak semata sebagai ajang persuaan sesama pehobi untuk berbagai kesenangan, melainkan juga sebagai ruang pergulatan pemikiran kreatif dalam suasana yang informal dan casual.

“Seriustapisantai,” ujarmereka.***

PARA MOTOR SPIN SUGAR

Ridwan Rudianto

Ridwan Rudianto

adalah seorang artistik-perfeksionis yang memiliki selera dan pengalaman musical tinggi, genre bergaris down tempo, IDM dan kidal. Ridwan disegani sebagai editor video andal dengan berbagai kolaborasi profil tinggi bersama Goenawan Mohamad dan Jay Subiyakto. Ia juga adalah sutradara video clip historis Superman Is Dead bertajuk "Punk HariIni" di tahun 2003. Ridwan juga mengelola toko musik mandiri dan toko barang seni di Denpasar.

Andhika autama

sudah mengoleksi music sejak usia 8 tahun. Di usia 21 tahun, Andhika menjadi Entertainment Manager dari Hard Rock Cafe Jakarta dan selama berkiprah di sana ia berhasil mendatangkan 30 artis internasional seperti No Doubt, Def Leppard, Steve Vai, Toto dan Back Street Boys. Di usia 28, Andhika menjadi A & R Manager dari Universal Music di Indonesia, dan berhasil membuat album kedua Elements meraih Triple Platinum. Kini menetap di Bali, Andhika aktif di bisnis hiburan lewat Westside Entertainment.

Marlowe Bandem

Marlowe Bandem

mengakrabi DJ-ing saat studi di Perth, Australia Barat di tahun 1994. Setibanya di Bali, Marlowe menjalankan acara DJ MIX “Deeper Shades of Wax”. Marlowe juga pengendara sepeda yang getol, Manajer dua bank mikro dan Wakil Ketua Yayasan Widya Dharma Shanti yang mengawasi STIKOM Bali, perguruan tinggi ICT terbesar di Bali. Ia adalah bagian dari tim penelitian Bali 1928 yang dipimpin oleh ahli etnomusikologi, Dr. Edward Herbst, yang saat ini bekerja untuk memasarkan kembali rekaman musik, film, danfoto Bali lama, mulai dari arsip, perpustakaan, universitas, dan koleksi pribadi di luar negeri.***

 

 

Bali dalam Lintasan Sejarah Jazz Indonesia

Sebagai pulau yang indah dan lekat dengan aktivitas kreatif, Bali mempunyai tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Berikut sekelumit catatannya.

Agung Bawantara

Bali punya tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Sekali pun dalam catatan itu posisi Bali bukan dalam keterlibatan musisinya untuk turut mewarnai blantika jazz Indonesia, melainkan sebagai pulau yang keindahannya menginspirasi para musisi jazz terbaik di Indonesia membuat sebuah album –belakangan menjadi sangat legendaris— bertajuk “Djanger Bali”. Rekaman itu dibuat di sela-sela perjalanan mereka melakukan tur konser di Eropa.

Kisah lengkapnya, begini. Pada 1967 kelompok jazz Indonesia bernama Indonesian All Stars yang terdiri atas Jack Lesmana (gitar), Bubi Chen (piano, zither), Maryono (saxophone, flute, suling), Jopie Chen (double bass) dan Benny Mustafa van Diest (drums) melakukan tur konser menjelajahi berbagai kota di Jerman Barat (saat itu) selama kurun waktu hampir sebulan. Pada tur tersebut mereka bermain jazz nyaris tanpa henti. Mereka tampil di berbagai acara pentas musik di negara itu termasuk di Berlin Jazz Festival. Di sela-sela acara tur yang padat itulah para musisi jazz terbaik Indonesia tersebut mendapat tawaran membuat rekaman album. Tawaran tersebut datang dari seorang tokoh dan produser jazz di Jerman, Joachim Berendt, yang terpesona pada musikalitas Jack Lesmana dan kawan-kawan itu. Joachimlah yang kemudian berperan sebagai produser album yang diberi tajuk Djanger Bali tersebut.

Foto By Dwi Artana

Selama dua hari, pada 27 dan 28 Oktober 1967, di kota Berlin para musisi jazz kebanggaan Indonesia itu melakukan sesi rekaman untuk MPS/Saba Record yang kemudian menghasilkan sebuah album berkonsep East meet West yang perwajahan sampulnya mengambil nukilan salah satu relief di Candi Borobudur. Dalam album itu beberapa instrumen musik tradisional Indonesia seperti suling bambu, kecapi dan zither dihadirkan. Indonesian All Stars banyak melakukan eksperimen dan eksplorasi saat penggarapan album monumental tersebut. Jack Lesmana misalnya, melakukan eksplorasi dengan memainkan nada rendah pada gitarnya untuk menyiasiati penggantian bunyi gong. Dan hasilnya memang cemerlang, tanpa gong nuansa etnik Bali bisa tercipta.

Jazz di Indonesia

Sejatinya musik jazz pertama kali masuk ke Indonesia pada 1930-an diperkenalkan oleh musisi-musisi Filipina yang bekerja di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mereka memainkan musik jazz dengan ritme latin, seperti boleros, rhumba, dan samba. Musik jazz semakin dikenal publik Indonesia ketika pada 1948 sekitar enam puluh musisi Belanda datang ke Indonesia untuk membentuk orkestra simfoni yang beranggotakan musisi lokal. Sejak itu grup musik jazz baru pun mulai bermunculan, seperti The Progressive Trio, Iskandar’s Sextet dan The Old Timers and Octet.

Pada 1955 muncul lagi kelompok Jazz Riders yang dibentuk oleh Bill Saragih. Pada saat bersamaan, di Surabaya, Jack Lesmana mendirikan pula grup musik jazz. Dan, di Bandung bermunculan musisi jazz seperti Eddy Karamoy, Joop Talahahu, Leo Masenggani, dan Benny Pablo.

Memasuki tahun 1980-an, musik jazz di Indonesia makin berkembang pesat dengan munculnya musisi dan penyanyi jazz seperti Benny Likumahuwa, Ireng Maulana, Luluk Purwanto, dan Elfa Secioria. Berbagai kombinasi antara musik jazz dengan genre lain pun mulai bermunculan. Fariz RM, misalnya, mampu menciptakan perpaduan musik antara pop jazz dengan latin. Pada era yang sama, Indra Lesmana, Donny Duhendra, Pra B. Dharma, Dwiki Darmawan, dan Gilang Ramadan membentuk kelompok musik bernama Krakatau, yang kemudian bertransformasi dengan mengganti beberapa personil.

Pada dekade inilah tampil musisi Bali, Dewa Budjana, yang turut memberi warna pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Ia hadir berbarengan dengan Andien, Maliq & D’essentials, Tompi, dan Syaharani. Kehadirannya memberi warna baru karena menggabungkan jazz dengan genre musik lain seperti pop, rock, fusion, dan lainnya.***

Perjalanan Musik Jazz di Bali

  • 1996 Jazz Café berdiri di Ubud diprakarsai promotor music Jed Balaskas. Acara musik jazz pun mulai sering di selenggarakan di Ubud, Sanur, Seminyak, dan Kuta.
  • 9 Desember 2000 Bali Jazz Parade digelar di Amphi Theatre Mal Bali Galeria, Menampilkan antara lain Balawan, batuan Ethnics Fusion, Dewa Budjana Trio, Flowing Rhythm dan Bertha. Acara diinisiasi oleh Bali Jazz Forum yang dimotori Arief “Ayip” Budiman
  • 14-15 April 2001 Bali Jazz Forum menggelar Bali Jazz Fiesta di Sand Island Hard Rock Hotel dengan acara utama Konser Indra Lesmana-Reborn. Tampil dalam acara itu grup jazz Bali : Three Musguitars, Kayane band, dan Jiwa Band
  • 18-20 November 2005 Bali Jazz Forum kembali menggelar Bali Jazz Festival menghadirkan 38 grup jazz dari 10 Negara
  • 2009 Ito Kurdhi (musisi), Grace Jeanie (pengusaha event organizer), Denny Surya (pengusaha radio), dan Yuri Mahatma (musisi) mendirikan Bali Jazz Cummunity (BJC ) yang memrakarsai pementasan-pementasan jazz dan membuat Bali sebagai destinasi penting musik jazz di Indonesia.
  • 2013 Yuri Mahatma dan Anom Darsana (pemilik Antida Music Productions) memrakarsai Ubud Village Jazz Festival (UVJF). Festival ini menggabungkan nada groovy dan harmoni jazz dengan suasana artistik dan suasana pedesaan tradisional Ubud yang damai.
  • 8 Maret 2014 The Bali Live International Festival diselenggarakan di Taman Bhagawan, Tanjung Benoa. Acara ini merupakan kelanjutan Java Jazz Festival 2014 di Jakarta. Tampil dalam acara tersebut antara lain Earth Wind and Fire Experience, Al McKay, Incognito, Omar, Estaire Godinez Ft Stockley Williams, Robert Turner, Tania Maria, Jim Larkin, Israel Varela, Yeppy Romero, dan musisi dalam negeri Nita Aartsen, Balawan, Rio Sidik, dan Sandy Winarta.
  • 15 September 2016 Balawan membuat kolaborasi jazz dengan musik tradisional Bali pada ajang Denpasar Festival sebagai rintisan Denpasar Jazz Festival yang akan digelar tiap tahun. Konsepnya mempertemukan gambelan/karawitan dengan instrument modern dalam kemasan jazz. Juga mempertemukan musisi nasional dan pemusik lokal. Sayangnya acara ini tidak berlanjut.
  • 14-16 Juli 2017 Indra Lesmana bersama IB Gde Sidharta Putra menghadirkan Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang merupakan puncak perayaan dari pentas serupa dengan skala kecil selama 52 kali dalam setahun. SMJF menampilkan bintang-bintang jazz terkenal seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana, Idang Rasjidi, Tohpati, Ito Kurdhi, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. ***

 

Dari Bali Merawat Spirit (Jazz) Indonesia

Foto by Dwi Artana

Sebuah rangkaian helatan musik jazz digelar di Sanur. Namanya Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF). Festival ini seperti puncak selebrasi dari rangkaian acara serupa berskala lebih kecil yang digelar sepanjang tahun. Bergandengan dengan Surya Sewana, SMFJ diharapkan jadi magnet baru festival music jazz di Indonesia. 

 

 

Agung Bawantara

Matahari belum menampakkan diri. Hanya cercah cahaya jingganya saja semburat menerobos ufuk nun jauh di seberang. Di langit, bulan pucat separuh bayang dan bintang timur masih enggan pulang.  Tapi pagi itu, Minggu, 16 Juli 2017, Indra Lesmana telah memulai aksinya di panggung pertunjukan yang berdiri anggun di bibir pantai, persis di seberang  Griya Santrian Hotel, Sanur. Ia bersama musisi Dewa Budjana (gitar), Indra Gupta (bas), Sandy Winarta (drum), Christie (sequencer) dan penabuh gamelan Bali tampil begitu khidmad menyuguhkan repertoar “Surya Sewana” yang tediri lima part yang dilengkapi liuk gemulai empat penari dan asap dupa di depan panggung.

Gelaran berdurasi 50 menit tersebut seolah ritual menyambut pagi dari Indra dan kawan-kawan  untuk memancarkan vibrasi kedamaian dan persaudaraan ke seluruh semesta melalui alunan musik dan lagu jazz. Istilah “surya sewana” sendiri sejatinya merupakan ritual menyongsong matahari yang dilakukan para Sulinggih (pendeta Hindu) di Bali setiap pagi.  Dalam ritual tersebut mereka merapal doa-doa kedamaian dan keselamatan bagi semesta raya.

Di seberang panggung tampak ratusan penonton dari berbagai bangsa menyaksikan pentas pagi itu dengan penuh antusiasme.  Mereka tampak larut dalam suasana damai dan teduh namun tetap memancarkan harapan itu.

Itulah sekelumit suasana hari ketiga Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang digelar pada 14-16 Juli 2017 lalu.

Foto by Dwi Artana

Foto by Dwi Artana

 

 

Foto by Dwi Artana

 

SMJF ini digagas oleh musisi jazz Indra Lesmana dan Ketua Umum SVF Ida Bagus Gde Sidharta Putra (Gusde) sebagai sebuah festival musik jazz yang tak hanya merayakan musik jazz semata, tetapi sebagai peristiwa kebudayaan yang menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan pelestarian lingkungan.

Secara keseluruhan, sejak hari pertama hingga hari terakhir, SMJF memang  terasa sebagai sebuah helatan musik jazz yang istimewa. Selama tiga hari panggung festival ini ditaburi bintang-bintang musik jazz sohor seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana Zentuary, Idang Rasjidi, Nesia Ard,  Sandy Winarta Trio, Tohpati, Ito Kurdhi Chemistry, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. Para bintang musik jazz itu tak semata menyuguhkan permainan terbaiknya kepada penonton, tetapi membangun nuansa perdamaian dan persaudaraan.

“Melalui festival ini kami berupaya menjadikan musik jazz sebagai media penyampai pesan kebudayaan, kemanusiaan, dan lingkungan. Jadi lebih dari sekadar festival musik,” ujar Gusde yang di amini Indra di sela acara.

Hal itulah yang membuat penonton dan para musisi yang terlibat terkesan. Musisi Idang Rasjidi, misalnya,  memuji festival perdana ini sebagai festival istimewa yang menghadirkan pertunjukan unggul yang menempatkan potensi setempat di barisan depan. Terlebih di sela acara diadakan aksi lingkungan seperti pelepasan tukik dan bersih-bersih pantai.

“Interaksi seperti itu membuat musisi dan penonton merasa terlibat dalam peristiwa budaya yang dikemas dalam suatu festival jazz,” papar Idang.

Pada festival ini penonton dipungut tiket Rp300ribu per hari atau Rp500 ribu untuk terusan selama dua hari. Harga itu sudah termasuk

 

hidangan santap malam. Sedangkan pertunjukan Surya Sewana pada  hari terakhir, tidak dipungut bayaran. SMJF ini merupakan selebrasi Mostly Jazz yang telah diselenggarakan sebanyak 52 kali sekaligus mengawali kegiatan Sanur Village Festival (SVF) yang dihelat 9-13 Agustus 2017.

Sanur yang “Jazzy”

Tentang suasana Sanur yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan festival ini, musisi Dewa Budjana mengatakan bahwa kawasan Pantai Sanur yang tenang dan damai sangat pas untuk penyelenggaraan festival jazz. Apalagi karakter wisatawan asing di kawasan ini cenderung menyukai musik berkelas yang tidak ingar-bingar.

“Saya berharap festival ini berlanjut sebagai semacam monumen untuk menjaga spirit musik jazz Indonesia yang dipelopori oleh Jack dan Nien Lesmana, orang tua Indra,” harap Bujana.

Indra sendiri mengaku sejak hijrah ke Bali akhir 2014 ingin menyurahkan perhatian khusus bagi perkembangan jazz melalui edukasi dan regenerasi. Bersama istrinya, Hon Lesmana, dan Gusde ia lantas mendirikan Sanggar Musik Indra Lesmana di Jalan Waribang Denpasar dan menggelar konser Mostly Jazz setiap dua pekan sekali di pinggir pantai Griya Santrian Resort, yang sekaligus menjadi titik temu komunitas jazz.

“Melalui sanggar, Mostly Jazz, dan festival ini saya meyediakan ajang pembelajaran bagi talenta muda dan mempersiapkannya masuk dalam belantika jazz sesungguhnya,” ucap Indra sembari berharap  SMJF dan “Surya Sewana” bisa menjadi magnet baru di antara puluhan festival jazz yang secara reguler telah digelar di Nusantara.

“Pertunjukan musik  jazz menjelang sunrise sangat pas bagi Sanur yang dijuluki the morning of the world,” tegasnya.**

 

 

Ekosistem Kreatif, Habitat bagi Sukses Bersama

Ekonomi kreatif mensyaratkan keberadaan ekosistem-ekosistem kreatif yang sehat. Denpasar masih memerlukan langkah yang lebih intens untuk membangunnya. Apa saja peluang dan kendalanya?

 

Foto By I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

Agung Bawantara 

Sejumlah anak muda duduk mengitari meja panjang. Meski topik pembicaraan sangat serius, mereka duduk begitu santai sejurus gaya dan tampilan mereka yang casual. Pada menit kesekian, tiba-tiba mereka bersorak riuh. Beberapa di antara mereka saling mengadu telapak tangan dengan rekan di sebelahnya. Rupanya mereka merayakan lahirnya sebuah gagasan cemerlang yang semula sama sekali tidak terlintas di benak mereka. Begitulah sepenggal suasana keseharian di Kumpul Coworking Space,  sebuah tempat di mana orang dari beragam latar belakang datang untuk bekerja sekaligus menambah jaringan.

Kumpul Coworking Space terletak di Jalan Danau Poso 54 A, Sanur. Ia adalah bagian dari Rumah Sanur Creative Hub yang merupakan sebuah tempat bertemu sekaligus memancarnya beragam kreativitas, pengetahuan, keahlian, kegemaran, dan keriangan.  Tempat ini dirancang sebagai ruang interaksi informal yang santai tapi produktif di mana semua orang dapat terhubung,

berkolaborasi, dan kemudian merayakannya. Jadi, ia semacam rumah bersama para seniman, kreatif, pemikir, inovator dan wirausahawan sosial. Ia juga merupakan pusat komunitas, bisnis, pengusaha sosial, pedagang, start-up, seniman dan kreatif. Di rumah ini berbagai orang dan bisnis dengan keahlian dan latar belakang yang berbeda bertemu untuk saling merangsang gagasan dan membangun hubungan lintas sektor. Di sini ekosistem kreatif dan inovasi social terus didorong dan dipupuk.

 

 

Foto by I Wayan Martino

Selain Kumpul Coworking Space, keluarga dalam rumah kreatif ini adalah Kedai Kopi Kultur, sebuah kedai kopi yang menggabungkan kewirausahaan sosial dengan menciptakan ruang berdialog antara produsen dan penikmat kopi, serta membantu petani kopi dalam perdagangan yang berkualitas dan adil; Teras Gandum dengan Brewers Beer Garden; serta  To~Ko” Concept Store yang menawarkan produk buatan UKM dan perancang muda dan melibatkan konsumen sebagai co-creator dari produk bersangkutan.  Semua itu saling sokong-menyokong melahirkan program dan gagasan-gagasan kreatif baru.

Dr. Greg Wuryanto, seorang akademisi dan pegiatan kreatif dari Yogyakarta, yang sempat bertandang ke tempat ini memujinya sebagai tempat yang keren untuk aktivitas kreatif yang melahirkan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan.

“Inilah contoh yang baik untuk ruang kreatif juga  ekosistem kreatif yang seyogyanya banyak dibangun di Indonesia,” ujarnya.

Soal ekosistem kreatif, isu ini tengah giat disebar oleh para pemikir dan pegiat ekonomi kreatif di Indonesia. Menurut kajian, membangun ekonomi kreatif terutama yang terformat dalam kota kreatif, keberadaan ekosistem-ekosistem kreatif adalah keharusan.  Ekosistem yang dimaksud adalah hubungan kait-berkait yang saling menguntungkan antara tiga elemen dasar yakni tempat berkerumunnya orang kreatif, proyek kreatif, lingkungan kreatif, serta relasi fungsional yang menghubungkan mereka. Di mana hubungan tersebut memungkinkan munculnya ragam aktivitas dan pemikiran kreatif baru.

Saat ini masih sangat banyak pekerja kreatif bekerja sendiri-sendiri. Menurut Faye Alund, pendiri Kumpul Coworking Space yang kini didapuk sebagai Presiden Coworking Space Indonesia, hal itu disebabkan karena sebagian besar mereka belum menemukan ekosistem ideal bagi kretaivitas masing-masing. Padahal kemajuan apa pun tidak bisa lepas dari sokongan ekosistemnya. Ekosistem yang buruk akan membuat setiap kreator bekerja-

 

Foto by I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

Foto By I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

-sendiri-sendiri dan meluputkan kemungkinan bersinergi yang saling memberi nilai tambah bagi masing-masing. Sebagai contoh, banyak perajin handmade memiliki produk unik tapi karena tak memiliki ekosistem yang bagus, mereka hanya bisa berjualan di satu tempat saja.

“Andai ekosistemnya baik, akan ada banyak kemungkinan dapat dilakukan untuk memasarkan produk tersebut,” papar Faye.

“Dengan semakin terbukanya kemungkinan,” imbuh Faye, “maka semakin besar peluang untuk meraih  sukses bersama yang muaranya akan ada lebih banyak orang yang ikut terlibat dan menikmati nilai tambah ekonomi dari sinergi itu.”

Menurut Faye masih belum baiknya ekosistem kreatif ini merupakan gejala umum di semua daerah di Indonesia termasuk di Denpasar.

Tempo Doeloe

Pernyataan Faye diamini Marlowe Bandem, bankir yang juga pemikir ekonomi kreatif. Katanya, masih perlu upaya yang lebih

Foto by I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

serius untuk membangun ekosistem yang sehat

Padahal menurut Marlowe, sesungguhnya Denpasar mempunyai pengalaman panjang berkaitan dengan pembangunan ekosistem kreatif. Marlowe menunjuk masa di awal abad ke-20, pasca Puputan Badung,  di mana terjadi desentralisasi dan demokratisasi kekuasaan yang tadinya berada di tangan puri beralih ke ranah banjar atau masyarakat. Hal itu menurut Marlowe tidak hanya menjadi obat untuk mengikis trauma kolonialisasi saja, tetapi juga mendorong lahirnya ekspresi kreatif di tingkat praktisi, secara individual mapun kelompok. Dalam proses tersebut ekspresi-ekspresi menjadi semakin fleksibel, cerdas dan original.

“Yan menarik, semua itu terjadi di ranah terbuka dan multikultur,” ujar Marlowe.

Ia merujuk berkembangnya berbagai aktivitas kreatif yang bersifat kolaboratif pada masa itu, di mana kolaborasinya bukan kolaborasi sembarangan, melainkan lintas negara yang dengan sendirinya lintas kultur.  Sebagai missal, Marlowe menunjuk aktivitas perekaman oleh label rekaman Jerman Odeon & Beka pada 1928 hingga 1929 di Lino Teater, Denpasar. Rekaman tersebut melibatkan kolaborasi penari Ida Boda dan pelukis Walter Spies. Juga melibatkan sejumlah seniman dan sekaa (grup seni) dari Denpasar. Itulah rekaman komersial pertama di Bali. Contoh lain, komposisi tabuh “Kebyar Ding” garapan I Made Regog yang dimainkan sekaa gong Belaluan-Sadmerta pun direkam saat itu. Selanjutnya ini menginspirasi lahirnya karya-karya tabuh Bali kontemporer berikutnya.

Lalu Marlowe pun berharap adanya upaya terus-menerus untuk mengembangkan Denpasar sebagai sebuah ekosistem kreatif.

 

 

 

Menyamakan Persepsi: Diskusi di Lingkara Photography Community mengenai upaya membangun ekosistem kreatif di Kota Denpasar (Bali)

 

“Akan menjadi keunggulan yang luar biasa jika Denpasar berhasil membangun ekositem kreatif yang baik. Sejauh ini Denpasar menjadi unik kan akibat sinergi antara ekonomi, destinasi, dan komunitas kreatif di ranah tradisi dan modernitas yang saling melengkapi,” tegas Marlowe.

Langkah ke Depan

Senada,  penggerak aktivitas kreatif Rudolf Dethu juga memandang penting penguatan berbagai ekosistem kreatif di Denpasar. Menurut Dethu hal tersebut akan menjadi pemicu gerakan ekonomi kreatif agar menjadi bergairah dan satu sama lain saling menopang. Untuk itu, menurut Dethu, hal pertama yang harus ada yakni itikad masing-masing pelaku kreatif untuk memajukan geliat ekonomi kreatif di kotanya. Kedua, kesediaan bekerjasama para pihak dengan kesadaran bahwa jika bergerak sendiri, akan berat sekali beban untuk mencapai tujuan dalam persaingan yang semakin ketat ini.

Hal ketiga, partisipasi aktif  dan serius dari Pemerintah dalam mendorong tumbuhnya ekosistem kreatif.

“Keberadaan Pemerintah dalam konteks ini amat krusial. Pemerintahlah pihak yang paling mampu mempercepat akselerasi tumbuh kembang ekonomi kreatif,” papar Dethu.

Sejurus itu, Dethu menggarisbawahi keluhan bahwa industri kreatif pada level mikro dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan.Menurut amatannya, di banyak daerah

keterlibatan Pemerintah dalam mendorong industri kreatif level mikro memang sangta kurang. Para pemainnya dibiarkan ngos-ngosan menopang dirinya sendiri. Sekali-sekalinya hadir, pemetaannya tak akurat. Pemerintah seperti gagap dalam menentukan mana yang sebenarnya lebih patut diprioritaskan untuk dibantu, mana yang mesti ditunda.

Dethu membeber beberapa contoh kasus bagaimana Pemerintah Pusat terkesan pilih kasih dalam mengulurkan bantuan, mengutamakan mereka yang di Jakarta atau Pulau Jawa saja.

“The Hydrant, misalnya. Ketika melakukan tour ke luar negeri, tak ada bantuan sama sekali dari Pemerintah Pusat.  Untungnya Pemerintah Kota Denpasar mau mengulurkan bantuan. Sokongan Pusat nihil. Padahal dari aspek ekonomi kreatif The Hydrant sangat memenuhi syarat. Yang menyebalkan, proposal mereka sama sekali tak dihiraukan,” keluh Dethu.

 

 

Teater Kalangan : Menumbuhkan kembali semangat berteaterdi kalangan muda

Dethu juga mendengar keluhan senada dari pegiat kreatif lainya, berkali-kali mengajukan proposal ke berbagai lembaga berkait di Pusat untuk mendapat sokongan dana kegiatan atau bantuan sarana/pra sarana, namun tak mendapat respons memadai. Tapi Dethu enggan terlalu banyak mengeluh. Ia memilih untuk berbuat dengan segala potensi yang ada.  Meski begitu, ia tetap mendorong Pemerintah untuk mengambil peran secara tepat.

Agar langkah pemerintah lebih efektif dan efisien, menurut Dethu yang mula-mula dibenahi saat ini adalah pemahaman aparat Pemerintah tentang ekonomi kreatif dan langkah-langkah pengembangannya.  Mereka harus diberi pemahaman yang tepat secara berkesinambungan.

Hal lain barulah soal pembangunan sarana dan prasarana berupa ruang publik tempat kongkow-kongkow para penggiat ekonomi kreatif, menambah kegiatan bertema ekonomi kreatif, serta mempertemukan para pelaku kreatif agar bersedia memangun kolaborasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Faye sepakat dengan Dethu. Menurut Faye, Pemerintah dan komponen lainnya harus bahu membahu membangun ekosistem agar subsektor tertentu yang diunggulkan memiliki nilai tambah yang tinggi dalam kualitas produk, sehingga mampu melahirkan banyak usaha rintisan, startup, wirausaha dan UKM di bidang ekonomi kreatif.

“Idealnya,” ujar Faye, “ekosistem ekonomi kreatif tumbuh di lingkungan yang sehat baik institusinya, pembinaan, dan pertumbuhannya.”

Sementara Marlowe yang lebih memfokuskan pandangannya ke Kota Denpasar (baca: daerah), berpandangan bahwa dalam membangun ekosistem kreatif yang sehat penting adanya jaminan adanya kepemimpinan yang tak hanya mengumandangkan pembangunan kreativitas sebagai slogan, melainkan berupaya mengidentifikasi dan memanfaatkan ruang, waktu, dan sumber daya manusia di kotanya, lalu membuat langkah yang tepat dalam pengembangan ekologi kreatif yang berkesinambungan.

“Kepemimpinan macam ini harus terus-menerus dipraktikkan sebagai common knowledge yang secara cerdas (smart) mengelola pasar (mart) bagi kreativitas (art),” tandasnya.**

Laporan : I Wayan Artaya, I Wayan Martino.

 

 

 

 

Marlowe Bandem – Pegiatan dan Pemikir Ekonomi Kreatif

Punya Sejarah Panjang

Marlowe Bandem (photo by Wayan Martino)

Menurut Anda apa perlunya membangun ekosistem kreatif?

Saya fokus bicara Denpasar saja, ya?

Silahkan…

Begini, sesungguhnya Denpasar mempunyai pengalaman panjang bila dikaitkan dengan pembangunan sebuah ekosistem kreatif. Misalnya di awal abad ke-20,  pasca Puputan Badung,  terjadi desentralisasi dan demokratisasi kekuasaan. Dari yang tadinya berada di tangan puri beralih ke ranah banjar atau masyarakat.  Hal itu tak hanya menjadi obat untuk mengentaskan trauma kolonialisasi saja, tetapi juga mendorong lahirnya ekspresi kreatif di tingkat praktisi, secara individual mapun kelompok. Ekspresi-ekspresi menjadi semakin fleksibel, cerdas dan original. Dan, semua itu terjadi di ranah terbuka dan multikultur.

Sejak itu berkembang berbagai aktivitas kreatif yang bersifat kolaboratif, internasional dan berbasis ekonomi yang saya istilahkan sebagai seni dapur. Jadi bukan bukan semata pengabdian atau seni murni. Hal ini tampak dalam aktivitas rekaman bersejarah oleh label rekaman Jerman Odeon & Beka pada 1928 hingga 1929 di Lino Teater, Denpasar. Rekaman tersebut tak hanya melibatkan kolaborasi Ida Boda dan Walter Spies sebagai artist and repertoire, namun juga melibatkan beragam seniman dan sekaa dari Denpasar dalam proses rekaman komersial pertama kali di Bali itu. Komposisi tabuh “Kebyar Ding” garapan I Made Regog yang dimainkan sekaa gong Belaluan-Sadmerta pun direkam saat itu, dan menginspirasi lahirnya karya-karya tabuh Bali kontemporer di masa kini.

Oleh karenanya penting bagi kita untuk terus mengembangkan Denpasar sebagai sebuah ekosistem kreatif mengingat bahwa Denpasar itu unik akibat sinergi antara ekonomi (pasar), destinasi (lingkungan) dan komunitas kreatif (pelaku, subyek kreatif) di ranah tradisi dan modernitas yang saling melengkapi.

Apa hal penting yang harus dilakukan untuk mengukuhkan ekosistem kreatif itu saat ini?

Hal penting dalam menjamin Denpasar sebagai kota kreatif tentunya kepemimpinan yang tak hanya mengumandangkan kreativitas sebagai slogan, namun kepemimpinan yang mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan ruang, waktu, dan sumber daya manusia Denpasar sebagai solusi dalam pengembangan domainnya sebagai ekologi kreatif yang berkesinambungan.

Sesungguhnya, maraknya kreativitas sebagai seni murni di mana seni ditempatkan sebagai persembahan dan pengabdian kepada Sang Pencipta dalam keseharian kita di Kota Denpasar adalah wujud dari kepemimpinan yang menempatkan kreativitas sebagai elemen penting pembangunan berkelanjutan, sekaligus sebagai bahasa universal dalam meluaskan pengaruh di ranah internasional. Kepemimpinan macam ini harus terus-menerus dipraktikkan sebagai common knowledge yang secara cerdas (smart) mengelola pasar (mart) bagi kreativitas (art).

Ada keluhan  bahwa industri kreatif pada level mikro dan indie label dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan. Bagaimana menurut Anda tentang hal ini?

Sejatinya secara ekspresi, DIY dan indie label adalah ranah kreatif yang liar, menantang, dan banyak kemungkinan ‘playful possibilities’. Banyak stimulus kreatif di domain ini tak berlanjut karena tak diimbangi dukungan finansial berbasis project dan berbasis komunitas.

Kepedulian triple helix ABG, akademis, bisnis, dan government harus difasilitasi lebih menyeluruh, khususnya dalam konteks perayaan, pewacanaan, dan pemanggungan kreatifnya. Saya berharap lembaga seperti Badan Kreatif Denpasar diberi kesempatan untuk menjadi steering commitee bagi pengaturan dan pemajuan aspek-aspek kesenian dan kebudayaan di Denpasar, sekaligus menjadi hub atau portal yang terbuka bagi pelibatan pelaku kreatif untuk melakoni koneksi, komunikasi dan kolaborasi kreatif. Pemerintah harus berani mendelegasikan dan mempercayakan kepemimpinan kreatif di pentas ini.

Apa kendala pembentukan ekosistem kreatif?

Menurut saya tak banyak kendala membangun ekosistem kreatif di Denpasar, mengingat keterbukaan Denpasar sebagai “the Heart of Bali” yang membuka peluang internasionalisasi bagi kesenian dan kebudayaan Bali, ditambah lagi dengan pemahamanan mendalam dan kreasi beragam dalam bidang pertunjukan kreatif, konten kreatif, produk kreatif, ruang kreatif dan iptek kreatif, namun tantangan sekarang dan masa mendatang adalah meningkatkan aspek kewirausahaan kreatif serta sinerginya dalam kemajuan revolusi industri digital dewasa ini.

Lembaga seperti Badan Kreatif Denpasar yang mempunyai yuridiksi namun belum sepenuhnya diberi otoritas oleh Pemkot Denpasar mesti didorong mengatur dan memimpin kendali atas kekuatan-kekuatan struktural, pasar, peraturan, edukasi dan komersial yang melingkupi kreativitas di Denpasar. Pemetaan data kreatif yang kerap dilakukan, mesti diimbangi dengan pengarsipan, dokumentasi dan diseminasi informasi yang bisa diakses secara cepat, ringkas dan portabel. Perlu pula dicermati pengayaan akan khazanah Denpasar sebagai kota pusaka, kota kreatif, dan kota cerdas.

Tantangan adalah menghasilkan ikon ikon kontemporer yang tak tercabut dari akar kulturnya di sinilah peran Denpasar Festival Sebagai Perhelatan Akhir tahun menjadi muara seluruh kreativitas di denpasar

Saya percaya bahwa industri kreatif akan lebih maju ketika kondisi-kondisi yang melingkupi ekosistemnya yang diubah, daripada berusaha mengajarkan individu atau komunitas untuk menjadi kreatif. Lebih baik proaktif daripada reaktif.

Melihat potensi yang ada, terutama yang berkait dengan seni kerakyatan, apa saran Anda dalam penguatan ekosistem kreatif di Kota Denpasar?

Bila dikaitkan dengan seni kerakyatan dan kerajinan, Denpasar bertabur potensi.  Dari  endek (tenun ikat khas Bali –red), layang-layang, hingga ogoh-ogoh, semuanya hidup dan marak. Seni kerakyatan dan kerajinan ini disokong oleh komunitas-komunitas secara budaya dan mendorong perputaran ekonomi secara signifikan.

Tantangannya adalah menghasilkan ikon-ikon kontemporer yang tak tercerabut dari akar kulturnya. Di sinilah peran Denpasar Festival sebagai perhelatan akhir tahun menjadi muara seluruh kreativitas di Denpasar. Ia adalah story telling atau pengisahan yang kredibel, otentik dan akurat akan keberlangsungan pilar-pilar kreatif Denpasar. Jadi seyogyanyalah Pemerintah Kota Denpasar secara terus-menerus mengukuhkan Denpasar Festival untuk mengajak masyarakat setiap tahun kembali ke titik nol untuk menyerap sekaligus memancarkan inspirasi bagi berlangsungnya kreativitas secara terus-menerus. Bahwa pusaka seni-budaya dirawat secara baik dan  laju kreativitas naru terus dipacu untuk tumbuh dan kian berpengaruh.

Selanjutnya adalah memastikan semuanya berpendar ke seluruh Bali, bahkan ke seluruh dunia.**

 

 

 

 

 

 

Rudolf Dethu – Penggerak Aktivitas Kreatif

Perlu Itikad Pelaku Kreatif

Rudolf Dethu (photo by Wayan Martino)

Menurut Anda apa perlunya membangun ekosistem kreatif?

Jika ekosistem kreatif bisa terbangun maka hal tersebut bisa menjadi pemicu gerakan ekonomi kreatif menjadi bergairah. Satu sama lain saling menopang sehingga, dalam konteks ini Denpasar misalnya, Denpasar bakal menonjol gerakan ekonomi kreatifnya, lebih maju dari kota-kota lainnya.

 

Apa hal terpenting yang harus dilakukan dalam membangun ekosistem kreatif?

Pertama itikad masing-masing pelaku memajukan geliat ekonomi kreatif di kotanya. Kedua kesediaan bekerjasama dengan pihak-pihak lain, bertangan terbuka dan sadar bahwa jika bergerak sendiri, nihil kolaborasi, susah dan berat sekali untuk mencapai tujuan. Ketiga tentu partisipasi aktif  dan serius dari pemerintah dalam mendorong tumbuhnya ekosistem kreatif. Keberadaan pemerintah di sini amat krusial sebab akan mempercepat akselerasi tumbuhkembang ekonomi kreatif.

Rudolf Dethu (photo by Wayan Martino)

Ada keluhan  bahwa industri kreatif pada level mikro dan indie label dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan. Bagaimana menurut Anda tentang hal ini?

Betul sekali. Nihil sama sekali keterlibatan Pemerintah. Para pemainnya dibiarkan ngos-ngosan menopang dirinya sendiri. Pemerintah belum bagus pengamatannya tentang mana pihak yang lebih patut dibantu, diprioritaskan. Mereka masih masih pilih kasih, mengutamakan yang di Jakarta atau Pulau Jawa saja. The Hydrant, misalnya. Saat tour ke luar negeri tiada sokongan dari Pusat. Padahal dari aspek ekonomi kreatif The Hydrant sangat memenuhi syarat. Proposal permintaan bantuan ke pemerintah sama sekali tak dihiraukan.

 

Apa kendala pembangunan ekosistem kreatif?

Pemerintah yang masih gagap dengan terminologi ekonomi kreatif itu sendiri, kurangnya ruang publik, tempat kongkow-kongkow para penggiat ekonomi kreatif, kurangnya kegiatan-kegiatan bertema ekonomi kreatif, serta para pemainnya yang cenderung berjalan sendiri-sendiri..**

 

Pewawancara : I Wayan Martino

Faye Alund Co-Founder Kumpul Coworking Space

Tuntutan Economy Sharing Makin Menguat

Faye Alund (photo by Wayan Martino)

Salah satu cara yang efektif dalam pengembangan Ekonomi Kreatif adalah membangun ekosistemnya sehingga mampu menyerap tenaga kerja maupun menumbuhkan peluang kerja. Dalam hal pengembangan ekonomi dari sektor ini, peluangnya masih sangat luas. Untuk menemukannya harus ada kesediaan untuk saling bertemu dan berdiskusi bagi para komponen kreatif. Jadi harus ada sinergi antara pemerintah, swasta, pelaku kreatif, dan akademisi.

 

Sinergi itu harus dibangun sedemikian rupa untuk menjaga adanya ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Hal itu sebagai upaya mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang mampu bersaing secara global dari masing-masing daerahnya.Dengan harapan dapat mengangkat potensi berbagai sumber daya yang ada baik sosial, sumber daya alam (SDA), seni, budaya maupun keahilan yang lainnya.

Faye Alund (photo by Wayan Martino)

Dunia terus berubah. Saat ini tuntutan untuk “economy sharing” menguat di mana-mana. Kecenderungan untuk melakukan kerja sama yang setara semakin menyebar. Sementara itu, pekerja kreatif kit amasih banyak yang bekerja sendiri-sendiri karena banyak memahami perubahan itu. SEbagian lagi belum menemukan ekosistem ideal bagi kretaivitas mereka. Padahal kemajuan apa pun tidak bisa lepas dari sokongan ekosistemnya.

 

Ekosistem yang buruk akan membuat setiap kreator bekerja sendiri-sendiri dan meluputkan kemungkinan bersinergi yang saling memberi nilai tambah bagi masing-masing. Sebagai contoh, banyak perajin handmade memiliki produk unik tapi karena tak memiliki ekosistem yang bagus, mereka hanya bisa berjualan di satu tempat tertentu saja dan direct selling. Padahal ada banyak kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memasarkan produk tersebut jika ekosistemnya baik.

 

Ke depan perlu didirikan banyak coworking space sebagai wadah kepada kreator atau pelaku start up (perusahaan rintisan) untuk mengembangkan ide dan inovasinya. Sekaligus untuk mementoring bahkan membantu menemukan jejaring atau relasi dalam pengembangannya. ** Pewawancara : I Wayan Artaya