Ekosistem Kreatif, Habitat bagi Sukses Bersama

Ekonomi kreatif mensyaratkan keberadaan ekosistem-ekosistem kreatif yang sehat. Denpasar masih memerlukan langkah yang lebih intens untuk membangunnya. Apa saja peluang dan kendalanya?

 

Foto By I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

Agung Bawantara 

Sejumlah anak muda duduk mengitari meja panjang. Meski topik pembicaraan sangat serius, mereka duduk begitu santai sejurus gaya dan tampilan mereka yang casual. Pada menit kesekian, tiba-tiba mereka bersorak riuh. Beberapa di antara mereka saling mengadu telapak tangan dengan rekan di sebelahnya. Rupanya mereka merayakan lahirnya sebuah gagasan cemerlang yang semula sama sekali tidak terlintas di benak mereka. Begitulah sepenggal suasana keseharian di Kumpul Coworking Space,  sebuah tempat di mana orang dari beragam latar belakang datang untuk bekerja sekaligus menambah jaringan.

Kumpul Coworking Space terletak di Jalan Danau Poso 54 A, Sanur. Ia adalah bagian dari Rumah Sanur Creative Hub yang merupakan sebuah tempat bertemu sekaligus memancarnya beragam kreativitas, pengetahuan, keahlian, kegemaran, dan keriangan.  Tempat ini dirancang sebagai ruang interaksi informal yang santai tapi produktif di mana semua orang dapat terhubung,

berkolaborasi, dan kemudian merayakannya. Jadi, ia semacam rumah bersama para seniman, kreatif, pemikir, inovator dan wirausahawan sosial. Ia juga merupakan pusat komunitas, bisnis, pengusaha sosial, pedagang, start-up, seniman dan kreatif. Di rumah ini berbagai orang dan bisnis dengan keahlian dan latar belakang yang berbeda bertemu untuk saling merangsang gagasan dan membangun hubungan lintas sektor. Di sini ekosistem kreatif dan inovasi social terus didorong dan dipupuk.

 

 

Foto by I Wayan Martino

Selain Kumpul Coworking Space, keluarga dalam rumah kreatif ini adalah Kedai Kopi Kultur, sebuah kedai kopi yang menggabungkan kewirausahaan sosial dengan menciptakan ruang berdialog antara produsen dan penikmat kopi, serta membantu petani kopi dalam perdagangan yang berkualitas dan adil; Teras Gandum dengan Brewers Beer Garden; serta  To~Ko” Concept Store yang menawarkan produk buatan UKM dan perancang muda dan melibatkan konsumen sebagai co-creator dari produk bersangkutan.  Semua itu saling sokong-menyokong melahirkan program dan gagasan-gagasan kreatif baru.

Dr. Greg Wuryanto, seorang akademisi dan pegiatan kreatif dari Yogyakarta, yang sempat bertandang ke tempat ini memujinya sebagai tempat yang keren untuk aktivitas kreatif yang melahirkan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan.

“Inilah contoh yang baik untuk ruang kreatif juga  ekosistem kreatif yang seyogyanya banyak dibangun di Indonesia,” ujarnya.

Soal ekosistem kreatif, isu ini tengah giat disebar oleh para pemikir dan pegiat ekonomi kreatif di Indonesia. Menurut kajian, membangun ekonomi kreatif terutama yang terformat dalam kota kreatif, keberadaan ekosistem-ekosistem kreatif adalah keharusan.  Ekosistem yang dimaksud adalah hubungan kait-berkait yang saling menguntungkan antara tiga elemen dasar yakni tempat berkerumunnya orang kreatif, proyek kreatif, lingkungan kreatif, serta relasi fungsional yang menghubungkan mereka. Di mana hubungan tersebut memungkinkan munculnya ragam aktivitas dan pemikiran kreatif baru.

Saat ini masih sangat banyak pekerja kreatif bekerja sendiri-sendiri. Menurut Faye Alund, pendiri Kumpul Coworking Space yang kini didapuk sebagai Presiden Coworking Space Indonesia, hal itu disebabkan karena sebagian besar mereka belum menemukan ekosistem ideal bagi kretaivitas masing-masing. Padahal kemajuan apa pun tidak bisa lepas dari sokongan ekosistemnya. Ekosistem yang buruk akan membuat setiap kreator bekerja-

 

Foto by I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

Foto By I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

-sendiri-sendiri dan meluputkan kemungkinan bersinergi yang saling memberi nilai tambah bagi masing-masing. Sebagai contoh, banyak perajin handmade memiliki produk unik tapi karena tak memiliki ekosistem yang bagus, mereka hanya bisa berjualan di satu tempat saja.

“Andai ekosistemnya baik, akan ada banyak kemungkinan dapat dilakukan untuk memasarkan produk tersebut,” papar Faye.

“Dengan semakin terbukanya kemungkinan,” imbuh Faye, “maka semakin besar peluang untuk meraih  sukses bersama yang muaranya akan ada lebih banyak orang yang ikut terlibat dan menikmati nilai tambah ekonomi dari sinergi itu.”

Menurut Faye masih belum baiknya ekosistem kreatif ini merupakan gejala umum di semua daerah di Indonesia termasuk di Denpasar.

Tempo Doeloe

Pernyataan Faye diamini Marlowe Bandem, bankir yang juga pemikir ekonomi kreatif. Katanya, masih perlu upaya yang lebih

Foto by I Kadek Dodik Dwi Cahyendra

serius untuk membangun ekosistem yang sehat

Padahal menurut Marlowe, sesungguhnya Denpasar mempunyai pengalaman panjang berkaitan dengan pembangunan ekosistem kreatif. Marlowe menunjuk masa di awal abad ke-20, pasca Puputan Badung,  di mana terjadi desentralisasi dan demokratisasi kekuasaan yang tadinya berada di tangan puri beralih ke ranah banjar atau masyarakat. Hal itu menurut Marlowe tidak hanya menjadi obat untuk mengikis trauma kolonialisasi saja, tetapi juga mendorong lahirnya ekspresi kreatif di tingkat praktisi, secara individual mapun kelompok. Dalam proses tersebut ekspresi-ekspresi menjadi semakin fleksibel, cerdas dan original.

“Yan menarik, semua itu terjadi di ranah terbuka dan multikultur,” ujar Marlowe.

Ia merujuk berkembangnya berbagai aktivitas kreatif yang bersifat kolaboratif pada masa itu, di mana kolaborasinya bukan kolaborasi sembarangan, melainkan lintas negara yang dengan sendirinya lintas kultur.  Sebagai missal, Marlowe menunjuk aktivitas perekaman oleh label rekaman Jerman Odeon & Beka pada 1928 hingga 1929 di Lino Teater, Denpasar. Rekaman tersebut melibatkan kolaborasi penari Ida Boda dan pelukis Walter Spies. Juga melibatkan sejumlah seniman dan sekaa (grup seni) dari Denpasar. Itulah rekaman komersial pertama di Bali. Contoh lain, komposisi tabuh “Kebyar Ding” garapan I Made Regog yang dimainkan sekaa gong Belaluan-Sadmerta pun direkam saat itu. Selanjutnya ini menginspirasi lahirnya karya-karya tabuh Bali kontemporer berikutnya.

Lalu Marlowe pun berharap adanya upaya terus-menerus untuk mengembangkan Denpasar sebagai sebuah ekosistem kreatif.

 

 

 

Menyamakan Persepsi: Diskusi di Lingkara Photography Community mengenai upaya membangun ekosistem kreatif di Kota Denpasar (Bali)

 

“Akan menjadi keunggulan yang luar biasa jika Denpasar berhasil membangun ekositem kreatif yang baik. Sejauh ini Denpasar menjadi unik kan akibat sinergi antara ekonomi, destinasi, dan komunitas kreatif di ranah tradisi dan modernitas yang saling melengkapi,” tegas Marlowe.

Langkah ke Depan

Senada,  penggerak aktivitas kreatif Rudolf Dethu juga memandang penting penguatan berbagai ekosistem kreatif di Denpasar. Menurut Dethu hal tersebut akan menjadi pemicu gerakan ekonomi kreatif agar menjadi bergairah dan satu sama lain saling menopang. Untuk itu, menurut Dethu, hal pertama yang harus ada yakni itikad masing-masing pelaku kreatif untuk memajukan geliat ekonomi kreatif di kotanya. Kedua, kesediaan bekerjasama para pihak dengan kesadaran bahwa jika bergerak sendiri, akan berat sekali beban untuk mencapai tujuan dalam persaingan yang semakin ketat ini.

Hal ketiga, partisipasi aktif  dan serius dari Pemerintah dalam mendorong tumbuhnya ekosistem kreatif.

“Keberadaan Pemerintah dalam konteks ini amat krusial. Pemerintahlah pihak yang paling mampu mempercepat akselerasi tumbuh kembang ekonomi kreatif,” papar Dethu.

Sejurus itu, Dethu menggarisbawahi keluhan bahwa industri kreatif pada level mikro dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan.Menurut amatannya, di banyak daerah

keterlibatan Pemerintah dalam mendorong industri kreatif level mikro memang sangta kurang. Para pemainnya dibiarkan ngos-ngosan menopang dirinya sendiri. Sekali-sekalinya hadir, pemetaannya tak akurat. Pemerintah seperti gagap dalam menentukan mana yang sebenarnya lebih patut diprioritaskan untuk dibantu, mana yang mesti ditunda.

Dethu membeber beberapa contoh kasus bagaimana Pemerintah Pusat terkesan pilih kasih dalam mengulurkan bantuan, mengutamakan mereka yang di Jakarta atau Pulau Jawa saja.

“The Hydrant, misalnya. Ketika melakukan tour ke luar negeri, tak ada bantuan sama sekali dari Pemerintah Pusat.  Untungnya Pemerintah Kota Denpasar mau mengulurkan bantuan. Sokongan Pusat nihil. Padahal dari aspek ekonomi kreatif The Hydrant sangat memenuhi syarat. Yang menyebalkan, proposal mereka sama sekali tak dihiraukan,” keluh Dethu.

 

 

Teater Kalangan : Menumbuhkan kembali semangat berteaterdi kalangan muda

Dethu juga mendengar keluhan senada dari pegiat kreatif lainya, berkali-kali mengajukan proposal ke berbagai lembaga berkait di Pusat untuk mendapat sokongan dana kegiatan atau bantuan sarana/pra sarana, namun tak mendapat respons memadai. Tapi Dethu enggan terlalu banyak mengeluh. Ia memilih untuk berbuat dengan segala potensi yang ada.  Meski begitu, ia tetap mendorong Pemerintah untuk mengambil peran secara tepat.

Agar langkah pemerintah lebih efektif dan efisien, menurut Dethu yang mula-mula dibenahi saat ini adalah pemahaman aparat Pemerintah tentang ekonomi kreatif dan langkah-langkah pengembangannya.  Mereka harus diberi pemahaman yang tepat secara berkesinambungan.

Hal lain barulah soal pembangunan sarana dan prasarana berupa ruang publik tempat kongkow-kongkow para penggiat ekonomi kreatif, menambah kegiatan bertema ekonomi kreatif, serta mempertemukan para pelaku kreatif agar bersedia memangun kolaborasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Faye sepakat dengan Dethu. Menurut Faye, Pemerintah dan komponen lainnya harus bahu membahu membangun ekosistem agar subsektor tertentu yang diunggulkan memiliki nilai tambah yang tinggi dalam kualitas produk, sehingga mampu melahirkan banyak usaha rintisan, startup, wirausaha dan UKM di bidang ekonomi kreatif.

“Idealnya,” ujar Faye, “ekosistem ekonomi kreatif tumbuh di lingkungan yang sehat baik institusinya, pembinaan, dan pertumbuhannya.”

Sementara Marlowe yang lebih memfokuskan pandangannya ke Kota Denpasar (baca: daerah), berpandangan bahwa dalam membangun ekosistem kreatif yang sehat penting adanya jaminan adanya kepemimpinan yang tak hanya mengumandangkan pembangunan kreativitas sebagai slogan, melainkan berupaya mengidentifikasi dan memanfaatkan ruang, waktu, dan sumber daya manusia di kotanya, lalu membuat langkah yang tepat dalam pengembangan ekologi kreatif yang berkesinambungan.

“Kepemimpinan macam ini harus terus-menerus dipraktikkan sebagai common knowledge yang secara cerdas (smart) mengelola pasar (mart) bagi kreativitas (art),” tandasnya.**

Laporan : I Wayan Artaya, I Wayan Martino.

 

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *