Monez – Kita Perlu Acara yang Mempertemukan Kreator dengan Buyer

Monez, begitu ia karab di sapa. Padahal nama lengkap lelaki kelahiran 28 April 1981 ini adalah Ida Bagus Ratu Antoni Putra. Ia adalah ilustrator kenamaan Bali yang karya-karyanya sudah sangat banyak tersebar di berbagai media dan bidang, mulai dari buku, majalah, koran, halaman website, hingga dinding bangunan.

 

Kini alumni pasca sarjana jurusan Kajian Seni ISI Denpasar ini merupakan satu dari sedikit ilustrator Bali yang karyanya merambah mancanegara, semisalnegara-negara Australia, Amerika Serikat, Jerman, dan Mexico. Dialah salah satu pekerja kreatif Bali yang membuktikan bahwa Industri Kreatif mempunyai kemungkinan sangat besar untuk dieksplorasibagi kepentingan ekonomiyang menyejahterakan banyak orang tanpa harus merendahkan nilai karya kreativitas itu sendiri sebagai barang dagangan semata.

 

Medio September 2017 lalu I Wayan Artaya mewawancarai Monez di studionya ihwal kiprahnya selama lebih dari sepuluh tahun menekuni dunia ilustrasi. Berikut percakapan selengkapnya:

FOTO : I Wayan Martino

Sejak kapan menggeluti dunia Ilustrasi?

Sejak 2004. Ceritanya, pada tahun 2002 saat saya masih mahasiswa smester empat di DKV (Desain Komunikasi Visual –red) Universitas Udayana, saya nyambi bekerja sebagai reporter di Tabloid Magic Wave yang ditugasi meliput acara-acara extrim sport seperti Skateboard dan Trail. Kebetulan Magic Wave sekantor dengan Majalah Kartun Bogbog. Belakangan saya bekerja di kedua majalah tersebut. Di Magic Wave sebagai wartawan, di Bogbog sebagai loper sekaligus volunteer untuk event mereka.

Suatu hari, ketika istirahat siang, saya iseng menggambar di meja makan. Saat itu Jango Pramartha, owner Bogbog, melihat gambar saya dan tertarik. Dia meminta saya agar meneruskan gambar itu untuk dimuat di majalah Bogbog. Saya ragu. Mindset saya saat itu, gambar aneh macam yang saya buat adalah gambar jelek. Bagi saya gambar yang bagus adalah gambar yang sempurna bentuk dan garisnya.

Jango mematahkan cara pikir saya itu dengan mengatakan bahwa yang penting dalam menggambar itu ya harus menjadi diri sendiri. Tidak meniru siapa pun. Saya memenuhi permintaannya, dan setelah publikasi berjalan, ternyata gambar saya mendapat-

feedback yang bagus. Banyak pembaca meminta agar gambar saya ada lagi pada episode berikutnya.

Apa bentuk gambar Anda saat itu?

Comic streep berjudul “Urban Party”. Ceritanya tentang seorang anak muda penyuka dugem yang hidup di tengah hiruk pikuk kehidupan malam di Kuta. Komik itu menjadi semacam aksen di majalah Bogbog. Ia nyempil di antara kartun-kartun lain yang bertema budaya dengan goresan dan cerita yang lucu.

Sejak itu saya mulai percaya diri bahwa gambar saya diterima juga oleh masyarakat. Itulah pertama kali saya nyemplung langsung sebagai pembuat gambar dan ilustrasi. Selanjutnya saya pun mulai dikenal dan mendapat order. Saya pun memutuskan untuk serius di bidang ini.

 

Dari gambar-gambar yang Anda hasilkan, mana yang Anda paling anggap hebat?

Setiap kreator memandang kehebatan karyanya dengan cara berbeda. Bagi kreator yang gemar mengikuti perlombaan, mungkin karya terhebat adalah yang pernah meraih juara. Tapi bagi sayakarya yang hebat adalah yang paling kuat passionnya. Nah, karena saya menumpahkan perhatian hampir 100 persen pada setiap karya yang saya buat –karena passion saya di situ, maka tidak ada karya yang saya anggap lebih menonjol dari karya yang lain. Semua hebat justru karena perbedaannya.

 

Dari mana bakat menggambar ini Anda warisi?

Dari kakek. Beliau seorang pelukis kaca yang pada eranya membuat lukisan kaca bermotif wayang untuk ornamen di dinding pelinggih (bangunan) pura. Sekarang seni lukis macam itu sudah tidak ada lagi. Sayangnya tidak ada satu pun rekam karya atau rekam foto dari karya-karya beliau.

Foto by I Wayan Martino

Dari mana order pertama kali?

Dari Yayasan Gelombang Udara Segar, GUS, yang berkantor di Kuta.Yayasan itu bergerak di bidang lingkungan. Di situ dari tahun 2004 hingga 2008 saya membuat ilustrasi untuk kebutuhan visual atau promosi mereka.

Lalu berlanjut ke yayasan-yayasan lain seperti Yayasan Gili Echo Trash dan Echo Bali. Dengan yayasan-yayasan itu saya berkolaborasi sehingga terbentuk karakter saya dalam menggambar. Karena lebih banyak menggarap isu lingkungan dengan target penikmat kalangan anak-anak, gambar saya pun selalu fun dan colorfull. Itu menjadi ciri saya hingga sekarang.

Lalu bagaimana ceritanya tentang karakter monster jenaka yang Anda ciptakan?

Karakter monster ini, ada banyak hal sebenarnya. Pertama, dari segi bentuk, saya tidak suka menggambar dan belum mahir menggambar realis. Ketertarikan saya kearah situ, tidak cukup kuat. Saya tidak suka terikat oleh aturan-aturan bahwa gambar itu salah,

kamu salah membuat mata, kamu salah membuat tangan, dan sebagainya… Saya lebih suka kebebasan dan monster itu memberi ruang kebebasan itu. Kalau Anda mebuat monster dengan satu atau tiga mata, tidak ada yang menyalahkan. Namanya juga monster, hahaha…

Kebebasan itulah yang membuat saya nyaman dalam bereksplorasi. Saya bisa membuat monster dalam berbagai bentuk dan itu menjadi eksperimen yang sangat menarik bagi saya.

Alasan lainnya, monster ada banyak kaitannya dengan budaya Bali, tempat saya lahir dan bertumbuh. Dengan bahasa berbeda, kita punya banyak urban legend di Bali. Beberapa karakter dalam cerita rakyat Bali, bagi orang di luar negeri, itu monster. Barong, rangda, dan beberapa karakter lain kalau dilihat dari kacamata Barat, itu monster. Jadi hal-hal yang mistis dan misterius, saya sebut sebagai monster.

Alasan ketiga, monster itu merupakan perumpamaan dari spirit. Bagi saya, setiap orang memiliki moster di dalam dirinya. Ada gelora di situ. Misalnya seorang penulis, saat menulisakan sangat powerfull. Monster dalam dirinya adalah monster penulis. Atlet lari, menyimpan monster yang bisa berlari kencang dalam dirinya.Pada diri saya, ada monster yang suka menggambar aneh, hahaha…

Apakah nama “Monez” ada hubungannya dengan itu?

Sebenarnya namakecil saya Gusmang. Nama Monez itu muncul ketika SMA karena saya suka memakai baju Band Ramones, nama sebuah grup band luar negeri. Teman-teman sepermainan saya suka iseng memanggil Monez, Nez. Yang menarik, sebenarnya selepas SMA saya tidak ingin menggunakan nama itu lagi. Tapi saat perpeloncoan di kampus, ada syarat semua mahasiswa baru wajib punya nick name dengan lima huruf. Daripada pusing nyari nama baru, saya gunakan saja nama Monez lagi dan jadilah itu sebagai panggilan saya hingga sekarang.

Saya pikir, nama Monez mudah diingat sehingga saya jadikan sebagai brand saya. Spelling-nya juga mudah bagi siapa saja. Universal.

 

 

Foto by I Wayan Martino

Saat ini, ke mana pemasaran Monstero paling kencang?

Saya menjalankan dua bidang bisnis. Yang pertama, jasa ilustrasi dengan brand“Monez”. Bisnis ini sudah memiliki klien di berbagai negara di dunia antara lain diAustralia, Amerika Serikat, Jerman, dan Mexico.

Yang kedua, saya menciptakan produk dengan bran “Monstero”. Produknya berupa T’Shirt, tas, macbookcase, hand phonecase, note book case, kartu pos, poster, dan lain-lain. Yang ini baru beredar di beberapa kota di Indonesia.

Bagaimana situasi pasar berkartun di Bali dan Indonesia saat ini?

Peluangnya sangat banyak. Dalam dunia ilustrasi yang diperlukan adalah bagaimana membangun pasar yang sesuai dengan karakter ilustrasi masing-masing illustrator. Anda bisa menggambar bagus, perfect, tapi gayanya meniru gaya Jepang, di Bali itu tidak laku.

Untuk itu, dalam hal ini janganlah terkunci oleh batasan geografis. Jaman now internet kan sudah semakin kencang. Komunikasi antar negara menjadi semakin mudah. Kini tinggal pintar-pintar kita mencari market.Gambar-gambar monster di Bali tidak laku, tetapi ketika saya pasarkan di internet, marketnya malah besar di luar negeri.Jadi, kita harus pandai mencari pasar yang tepat dan tidak berkecil hati saat lingkungan sekitar tidak menerima karya kita.

Bagaimana tentang pesaing dan persaingan di bidang ini?

Persaingan memang semakin ketat.Karena itu kita harus pandai memunculkan diferensiasi produk kita.Ketika Anda bersaing dengan kualitas sama dengan yang lainnya, pasar akan memilih harga termurah. Tetapi ketika Anda menawarkan sesuatu yang berbeda pada persaingan tersebut, pasar pasti akan memilih Anda karena hanya Anda yang bisa membuat karya itu.

Anda sangat yakin aktivitas kreatif menjanjikan masa depan yang cerah…

Ya, karena memang sangat menjanjikan.Meski persaingan yang ketat membuatnya situasinya semakin sulit dari sebelumnya, tapi bisa!

Berkait urusan masa depan, dalam berkarya saya sekaligus memikirkan business cash-flow. Saya tak mau berkarya sambil mengemis. Jadi saya juga harus bisa menjadi entrepreneur. Harus bisa berpromosi, berkomunikasi dengan baik, dan memastikan harga sesuai takaran pekerjaan.

Bagaimana Anda mengatur itu semua?

Manajemen! Kuncinya di situ. Manajemen itu menyakup waktu, keuangan, dan tata kerja.

Banyak seniman yang susah memanajemeni diri sendiri. Sering melanggar deadline dengan alasan belum ada mood.

Menurut saya, cara berkarya dengan menunggu mood adalah cara berkarya yang usang. Mood bukan ditunggu mood tapi diciptakan. Sebab, industri tidak mau menunggu.Klien kan perlu jaminan agar perusahaannya berjalan seperti yang mereka rancang. Hari Kamis harus jadi desainnya karena hari Sabtunya dia harus promosi…. Semacam itu. Sebab itu kan berkait dengan hal-hal lain dan ada konsekwensi kerugian yang harus mereka tanggung.

Dilihat dari sudut pandang kesenian murni pun, jika berkarya dengan menciptakan mood, bukan menunggunya, akan lebih banyak karya yang mungkin kita hasilkan dan lebih banyak sisa waktu yang dapat kita gunakan untuk aktivitas lain seperti aktivitas sosial dan spiritual

Lalu, manajemen keuangan.Berkarya dan berhitung uang itu adalah dua hal yang berbeda. Otak kiri dan otak kanan. Saya sendiri tidak bagus dalam hal itu dan meminta bantuan istri untuk mengerjakannya. Jadi Anda perlu partner untuk mengerjakan hal yang tak mampu anda lakukan. Jangan mengerjakan semuanya sendirian. Jika Anda seniman, fokuslah mengatur waktu untuk berkarya dan menjaga mood untuk itu. Bidang lainnya, seperti keuangan, marketing ,dan sebagainya, serahkan pada yang ahli yang Anda percayai. Awalnya memang susah, tapi mulailah dengan orang-orang di sekitar kita.

Apa kendala eksternal berkarya dan berbisnis di bidang ilustrasi ini?

Kendala dari luar, masih banyak orang melihat industri ilustrasi itu sebagai kelas dua dibanding industri kreatif lain seperti arsitektur. Di Bali urutannya begini: pertama arsitektur, lalu fotografi, baru ilustrasi.

Arsitek itu sudah ada di areal yang tingkat pendapatannya cukup baik karena proyek yang membutuhkan arsitek sudah ada pendanaan yang cukup. Klien sudah memikirkan budget untuk jasa arsitek. Fotografi, juga hampir seperti itu. Orang-orang luar banyak ke Bali dengan tujuan itu. Artinya, budget untuk jasa ini sudah dianggarkan. Sedangkan ilustrasi masih optional. Misalnya, seseorang merencanakan mendirikan kafe dengan ilustrasi mural di dindingnya. Begitu tidak ada cukup uang, ya ilustrasinya dibatalkan saja. Tanpa ilustrasi itu usaha kafenya tetap jalan, kok. Nanti, kalau sudah ada budget baru muralnya diadakan.

Kendala lain, masyarakat Bali belum bisa memahami spesialisasi illustrator sehingga tidak bisa menghargai secara semestinya.

Apahal penting harus dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan industri ilustrasi ini?

Memperbanyak ruang sharing. Misalnya, saya ingin sharing pengalaman saya selama lebih dari sepuluh tahun menggeluti bidang ini yang intinya untuk meningkatkan derajat profesi ilustrator agar ditempatkan pada posisi semestinya.

Pemerintah juga kami harap memperbanyak regular event yang membuat ilustrator bisa memamerkan karya sekaligus bertemu dengan para “buyer”. Saat ini kita miskin acara yang mempertemukan kreator dengan buyer-nya. Jadi pada pameran itu peserta bisa langsung bertemu orang-orang perusahaan dan deal di tempat. Di situ ada portofolio review booth milik Youtube, Facebook, Line, Gramedia, dan lain-lain, di mana kita bisa menunjukkan secara langsung portfolio kepada representative mereka. Itu yang belum ada di Bali.**

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *