Marlowe Bandem – Pegiatan dan Pemikir Ekonomi Kreatif

Punya Sejarah Panjang

Marlowe Bandem (photo by Wayan Martino)

Menurut Anda apa perlunya membangun ekosistem kreatif?

Saya fokus bicara Denpasar saja, ya?

Silahkan…

Begini, sesungguhnya Denpasar mempunyai pengalaman panjang bila dikaitkan dengan pembangunan sebuah ekosistem kreatif. Misalnya di awal abad ke-20,  pasca Puputan Badung,  terjadi desentralisasi dan demokratisasi kekuasaan. Dari yang tadinya berada di tangan puri beralih ke ranah banjar atau masyarakat.  Hal itu tak hanya menjadi obat untuk mengentaskan trauma kolonialisasi saja, tetapi juga mendorong lahirnya ekspresi kreatif di tingkat praktisi, secara individual mapun kelompok. Ekspresi-ekspresi menjadi semakin fleksibel, cerdas dan original. Dan, semua itu terjadi di ranah terbuka dan multikultur.

Sejak itu berkembang berbagai aktivitas kreatif yang bersifat kolaboratif, internasional dan berbasis ekonomi yang saya istilahkan sebagai seni dapur. Jadi bukan bukan semata pengabdian atau seni murni. Hal ini tampak dalam aktivitas rekaman bersejarah oleh label rekaman Jerman Odeon & Beka pada 1928 hingga 1929 di Lino Teater, Denpasar. Rekaman tersebut tak hanya melibatkan kolaborasi Ida Boda dan Walter Spies sebagai artist and repertoire, namun juga melibatkan beragam seniman dan sekaa dari Denpasar dalam proses rekaman komersial pertama kali di Bali itu. Komposisi tabuh “Kebyar Ding” garapan I Made Regog yang dimainkan sekaa gong Belaluan-Sadmerta pun direkam saat itu, dan menginspirasi lahirnya karya-karya tabuh Bali kontemporer di masa kini.

Oleh karenanya penting bagi kita untuk terus mengembangkan Denpasar sebagai sebuah ekosistem kreatif mengingat bahwa Denpasar itu unik akibat sinergi antara ekonomi (pasar), destinasi (lingkungan) dan komunitas kreatif (pelaku, subyek kreatif) di ranah tradisi dan modernitas yang saling melengkapi.

Apa hal penting yang harus dilakukan untuk mengukuhkan ekosistem kreatif itu saat ini?

Hal penting dalam menjamin Denpasar sebagai kota kreatif tentunya kepemimpinan yang tak hanya mengumandangkan kreativitas sebagai slogan, namun kepemimpinan yang mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan ruang, waktu, dan sumber daya manusia Denpasar sebagai solusi dalam pengembangan domainnya sebagai ekologi kreatif yang berkesinambungan.

Sesungguhnya, maraknya kreativitas sebagai seni murni di mana seni ditempatkan sebagai persembahan dan pengabdian kepada Sang Pencipta dalam keseharian kita di Kota Denpasar adalah wujud dari kepemimpinan yang menempatkan kreativitas sebagai elemen penting pembangunan berkelanjutan, sekaligus sebagai bahasa universal dalam meluaskan pengaruh di ranah internasional. Kepemimpinan macam ini harus terus-menerus dipraktikkan sebagai common knowledge yang secara cerdas (smart) mengelola pasar (mart) bagi kreativitas (art).

Ada keluhan  bahwa industri kreatif pada level mikro dan indie label dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan. Bagaimana menurut Anda tentang hal ini?

Sejatinya secara ekspresi, DIY dan indie label adalah ranah kreatif yang liar, menantang, dan banyak kemungkinan ‘playful possibilities’. Banyak stimulus kreatif di domain ini tak berlanjut karena tak diimbangi dukungan finansial berbasis project dan berbasis komunitas.

Kepedulian triple helix ABG, akademis, bisnis, dan government harus difasilitasi lebih menyeluruh, khususnya dalam konteks perayaan, pewacanaan, dan pemanggungan kreatifnya. Saya berharap lembaga seperti Badan Kreatif Denpasar diberi kesempatan untuk menjadi steering commitee bagi pengaturan dan pemajuan aspek-aspek kesenian dan kebudayaan di Denpasar, sekaligus menjadi hub atau portal yang terbuka bagi pelibatan pelaku kreatif untuk melakoni koneksi, komunikasi dan kolaborasi kreatif. Pemerintah harus berani mendelegasikan dan mempercayakan kepemimpinan kreatif di pentas ini.

Apa kendala pembentukan ekosistem kreatif?

Menurut saya tak banyak kendala membangun ekosistem kreatif di Denpasar, mengingat keterbukaan Denpasar sebagai “the Heart of Bali” yang membuka peluang internasionalisasi bagi kesenian dan kebudayaan Bali, ditambah lagi dengan pemahamanan mendalam dan kreasi beragam dalam bidang pertunjukan kreatif, konten kreatif, produk kreatif, ruang kreatif dan iptek kreatif, namun tantangan sekarang dan masa mendatang adalah meningkatkan aspek kewirausahaan kreatif serta sinerginya dalam kemajuan revolusi industri digital dewasa ini.

Lembaga seperti Badan Kreatif Denpasar yang mempunyai yuridiksi namun belum sepenuhnya diberi otoritas oleh Pemkot Denpasar mesti didorong mengatur dan memimpin kendali atas kekuatan-kekuatan struktural, pasar, peraturan, edukasi dan komersial yang melingkupi kreativitas di Denpasar. Pemetaan data kreatif yang kerap dilakukan, mesti diimbangi dengan pengarsipan, dokumentasi dan diseminasi informasi yang bisa diakses secara cepat, ringkas dan portabel. Perlu pula dicermati pengayaan akan khazanah Denpasar sebagai kota pusaka, kota kreatif, dan kota cerdas.

Tantangan adalah menghasilkan ikon ikon kontemporer yang tak tercabut dari akar kulturnya di sinilah peran Denpasar Festival Sebagai Perhelatan Akhir tahun menjadi muara seluruh kreativitas di denpasar

Saya percaya bahwa industri kreatif akan lebih maju ketika kondisi-kondisi yang melingkupi ekosistemnya yang diubah, daripada berusaha mengajarkan individu atau komunitas untuk menjadi kreatif. Lebih baik proaktif daripada reaktif.

Melihat potensi yang ada, terutama yang berkait dengan seni kerakyatan, apa saran Anda dalam penguatan ekosistem kreatif di Kota Denpasar?

Bila dikaitkan dengan seni kerakyatan dan kerajinan, Denpasar bertabur potensi.  Dari  endek (tenun ikat khas Bali –red), layang-layang, hingga ogoh-ogoh, semuanya hidup dan marak. Seni kerakyatan dan kerajinan ini disokong oleh komunitas-komunitas secara budaya dan mendorong perputaran ekonomi secara signifikan.

Tantangannya adalah menghasilkan ikon-ikon kontemporer yang tak tercerabut dari akar kulturnya. Di sinilah peran Denpasar Festival sebagai perhelatan akhir tahun menjadi muara seluruh kreativitas di Denpasar. Ia adalah story telling atau pengisahan yang kredibel, otentik dan akurat akan keberlangsungan pilar-pilar kreatif Denpasar. Jadi seyogyanyalah Pemerintah Kota Denpasar secara terus-menerus mengukuhkan Denpasar Festival untuk mengajak masyarakat setiap tahun kembali ke titik nol untuk menyerap sekaligus memancarkan inspirasi bagi berlangsungnya kreativitas secara terus-menerus. Bahwa pusaka seni-budaya dirawat secara baik dan  laju kreativitas naru terus dipacu untuk tumbuh dan kian berpengaruh.

Selanjutnya adalah memastikan semuanya berpendar ke seluruh Bali, bahkan ke seluruh dunia.**

 

 

 

 

 

 

Rudolf Dethu – Penggerak Aktivitas Kreatif

Perlu Itikad Pelaku Kreatif

Rudolf Dethu (photo by Wayan Martino)

Menurut Anda apa perlunya membangun ekosistem kreatif?

Jika ekosistem kreatif bisa terbangun maka hal tersebut bisa menjadi pemicu gerakan ekonomi kreatif menjadi bergairah. Satu sama lain saling menopang sehingga, dalam konteks ini Denpasar misalnya, Denpasar bakal menonjol gerakan ekonomi kreatifnya, lebih maju dari kota-kota lainnya.

 

Apa hal terpenting yang harus dilakukan dalam membangun ekosistem kreatif?

Pertama itikad masing-masing pelaku memajukan geliat ekonomi kreatif di kotanya. Kedua kesediaan bekerjasama dengan pihak-pihak lain, bertangan terbuka dan sadar bahwa jika bergerak sendiri, nihil kolaborasi, susah dan berat sekali untuk mencapai tujuan. Ketiga tentu partisipasi aktif  dan serius dari pemerintah dalam mendorong tumbuhnya ekosistem kreatif. Keberadaan pemerintah di sini amat krusial sebab akan mempercepat akselerasi tumbuhkembang ekonomi kreatif.

Rudolf Dethu (photo by Wayan Martino)

Ada keluhan  bahwa industri kreatif pada level mikro dan indie label dibiarkan bertumbuh sendiri dan tak tersentuh kebijakan. Bagaimana menurut Anda tentang hal ini?

Betul sekali. Nihil sama sekali keterlibatan Pemerintah. Para pemainnya dibiarkan ngos-ngosan menopang dirinya sendiri. Pemerintah belum bagus pengamatannya tentang mana pihak yang lebih patut dibantu, diprioritaskan. Mereka masih masih pilih kasih, mengutamakan yang di Jakarta atau Pulau Jawa saja. The Hydrant, misalnya. Saat tour ke luar negeri tiada sokongan dari Pusat. Padahal dari aspek ekonomi kreatif The Hydrant sangat memenuhi syarat. Proposal permintaan bantuan ke pemerintah sama sekali tak dihiraukan.

 

Apa kendala pembangunan ekosistem kreatif?

Pemerintah yang masih gagap dengan terminologi ekonomi kreatif itu sendiri, kurangnya ruang publik, tempat kongkow-kongkow para penggiat ekonomi kreatif, kurangnya kegiatan-kegiatan bertema ekonomi kreatif, serta para pemainnya yang cenderung berjalan sendiri-sendiri..**

 

Pewawancara : I Wayan Martino

Faye Alund Co-Founder Kumpul Coworking Space

Tuntutan Economy Sharing Makin Menguat

Faye Alund (photo by Wayan Martino)

Salah satu cara yang efektif dalam pengembangan Ekonomi Kreatif adalah membangun ekosistemnya sehingga mampu menyerap tenaga kerja maupun menumbuhkan peluang kerja. Dalam hal pengembangan ekonomi dari sektor ini, peluangnya masih sangat luas. Untuk menemukannya harus ada kesediaan untuk saling bertemu dan berdiskusi bagi para komponen kreatif. Jadi harus ada sinergi antara pemerintah, swasta, pelaku kreatif, dan akademisi.

 

Sinergi itu harus dibangun sedemikian rupa untuk menjaga adanya ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Hal itu sebagai upaya mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang mampu bersaing secara global dari masing-masing daerahnya.Dengan harapan dapat mengangkat potensi berbagai sumber daya yang ada baik sosial, sumber daya alam (SDA), seni, budaya maupun keahilan yang lainnya.

Faye Alund (photo by Wayan Martino)

Dunia terus berubah. Saat ini tuntutan untuk “economy sharing” menguat di mana-mana. Kecenderungan untuk melakukan kerja sama yang setara semakin menyebar. Sementara itu, pekerja kreatif kit amasih banyak yang bekerja sendiri-sendiri karena banyak memahami perubahan itu. SEbagian lagi belum menemukan ekosistem ideal bagi kretaivitas mereka. Padahal kemajuan apa pun tidak bisa lepas dari sokongan ekosistemnya.

 

Ekosistem yang buruk akan membuat setiap kreator bekerja sendiri-sendiri dan meluputkan kemungkinan bersinergi yang saling memberi nilai tambah bagi masing-masing. Sebagai contoh, banyak perajin handmade memiliki produk unik tapi karena tak memiliki ekosistem yang bagus, mereka hanya bisa berjualan di satu tempat tertentu saja dan direct selling. Padahal ada banyak kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memasarkan produk tersebut jika ekosistemnya baik.

 

Ke depan perlu didirikan banyak coworking space sebagai wadah kepada kreator atau pelaku start up (perusahaan rintisan) untuk mengembangkan ide dan inovasinya. Sekaligus untuk mementoring bahkan membantu menemukan jejaring atau relasi dalam pengembangannya. ** Pewawancara : I Wayan Artaya