Bermain layang-layang berukuran jumbo sudah mentradisi di Bali. Namun tradisi itu kini dibayangi kekhawatiran akan punah sebab lahan untuk menerbangkannya semakin menyempit. Segenap pihak terkait harus turut memikirkannya secara serius.
Maria Ekaristi
Tak kurang dari 641 layang-layang berukuran jumbo mengudara secara bersamaan pada siang pekan ketiga bulan Agustus itu. Maka langit biru di atas pesisir timur Kota Denpasar itu pun jadi tampak semarak. Persis seperti aquarium yang dipenuhi ikan-ikan hias yang meliuk-liuk gemulai.
Tapi itu belum seberapa. Pernah tiga sebelum itu, tepatnya pada 23 Agustus 2014, langit di atas kawasan Sanur semarak oleh lanyang-layang beraneka ragam yang terbang bersamaan. Jumlahnya 1.740 layangan. Maklum, hari itu adalah puncak acara Lomba layang-layang dalam rangka Sanur Village Festival 2014. Itulah rekor jumlah layangan terbanyak yang mengudara dalam waktu bersamaan di Pulau Dewata.
Soal layangan, banyak hal spektakuler yang terjadi di Bali. Entah dari ukurannya yang besar, jumlahnya yang banyak, hingga penggemarnya yang fanatik. Salah satu contoh, mengudaranya Nagaraja, sebuah layang-layang janggan super jumbo berbobot mencapai 707 kilogram! Dengan dorongan angin berkecepatan 13,2 knot per jam layang-layang janggan yang memiliki ekor sepanjang 250 meter itu mengudara dengan anggun. Padahal secara teoritis layangan seberat itu hanya mungkin terbang dengan dorongan angin berkecepatan minimal 15 knot per jam.
Banyak lagi cerita menarik tentang layang di Bali. Sebab kegiatan ini menjadi hobby banyak orang dan memiliki akar kultur yang cukup dalam. Ia berawal dari tradisi agraris dan diberi spritual melalui legenda Rare Angon, Putra Dewa Siwa.
Kini, setiap musim layangan yang biasanya berlangsung di Bulan Juli hingga Agustus, ratusan komunitas penggemar layang-layang di Denpasar dan sekitarnya merayakannya dengan penuh suka-cita.
Dilihat dari sisi ekonomi (kreatif), hal di atas merupakan potensi yang luar biasa. Bayangkan, berapa uang berputar di setiap musim layangan sedari pembelian bambu, kain, tali, hingga penjualan makana dan minuman untuk para pelayang yang lapar dan haus usai menguras tenaga menaikkan layangan mereka yang berukuran besar.
“Ini potensi besar yang semestinya dihitung dan dikemas secara cermat,” cetus Ni Luh Djelantik, pengusaha sukses yang menggemari layang-layang, saat tampil sebagai pembicara dalam sebuah dialog budaya di Hotel Griya Santrian beberapa bulan lalu.
Menurutnya, jika dikelola secara baik, kegiatan yang sudah mentradisi ini pasti mendatangkan manfaat secara sosial atau ekonomi bukan saja pada saat musim layangan, melainkan pada bulan-bulan setelahnya. Menurutnya banyak hal yang bisa digarap selain layang-layang yang diterbangkan seperti aksesoris, senirupa, miniatur, hingga fotografi layang-layang.
Untuk itu, lanjut Djelantik, pengembangan layang-layang sebagai industri harus didukung semua pihak, dan Pemerintah harus turut andil semisal menyediakan lahan yang kini semakin menyempit.
Tentang lahan bermain layangan, Andreas O. Green pengamat layang-layang asal Swedia menilai potensi besar layang-layang di Bali belum digarap maksimal. Bermain layangan dibiarkan sebagai kegemaran masyarakat yang hany asebatas kegemaran semata. Bukan dilihat sebagai potensi besar yang harus digarap secara serius. Padahal di Balilah satu-satunya di dunia aktivitas berlayangan yang akarnya melekat pada tradisi masyarakat secara umum. Andreas membandingkan bagaimana Perancis yang tradisi berlayangannya tak melekat jauh dalam tradisi masyarakatnya menyediakan lahan yang sangat luas untuk bermain layang-layang. Ia juga membandingkan dengan Diraja Malaysia yang menyediakan bukit khusus untuk bermain dan berfestival layang-layang, dan menjadikannya destinasi wisata lengkap dengan fasilitas hotel bintang limanya.
“Di Bali hal itu tidak terjadi. Semua bergerak sendiri-sendiri dan hanya sekedar hobby,” ucapnya.
Hal itu diakui oleh Made Yudha, Ketua II Bidang Lapangan Pelangi Bali. Menurutnya sejauh ini, aktivitas berlayangan masih dipandang sebatas kegemaran masyarakat saja.
“Belum ada langkah yang lebih jauh dari itu,” ucapnya.
Yang ironis, menurut Yudha, di tengah gegap-gempita aktivitas berlayangan pada setiap musim layangan, ada kekhawatiran tradisi layang-layang akan punah. Penyebabnya lahan tempat bermain layang-layang selama ini telah dikuasai investor dan kemungkinan akan mengubahnya menjadi hotel atau kepentingan komersial lainnya.
“Sejauh ini sih, memang belum ada tanda-tanda ke arah situ. Tapi alangkah baiknya masyarakat adat dan Pemerintah mengantisipasi hal itu demi kelestarian tradisi berlayangan ini,” harapnya sembari menegaskan bahwa layang-layang memang meliuk di udara namun ia memerlukan hamparan lahan luas untuk menerbangkannya. ***
http://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/01_Vifick_rumahkelimadotcom_layanglayang-9.jpg10001500Adminhttp://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/Logo-BeKraf-Denpasar_png-300x138.pngAdmin2018-02-12 07:29:172018-02-12 07:29:17Yang Meliuk dan Mendamba Hamparan
Bali Permata Ceramic adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kerajinan lukisan keramik. Mengusung tag line “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting”, usaha kerajinan ini sukses merambah pasar dunia dan eksis melewati tiga dekade.
Maria Pankratia & Agung Bawantara
SEKITAR awal dekade 1980 an I Nyoman Reken (almarhum) mendirikan “Bali Permata”, sebuah usaha kerajian yang memproduksi cindera mata lukisan di atas keramik. Ihwal pendirian usaha keluarga itu berawal dari perkenalan Reken dengan Renhilde Jonath, pelukis keramik kebangsaan Australia yang melancong ke Bali dan menginap di Bali Beach Hotel (sekarang Inna Grand Bali Beach Hotel – red) tempat Reken bekerja sebagai house keeper.
Entah bagaimana mulanya, Renhilde menyarankan Reken menggeluti usaha ceramic painting yang belum ada di Bali. Saran itu langsung disetujui Reken. Agar usaha itu bisa berjalan, tentu saja Reken meminta Renhilde mengajari seluk-beluk seni lukis keramik hingga ke detil-detilnya. Kali ini, Renhilde yang balas mengiyakan tanpa pikir panjang. Merasa akan mendapat pelajaran berharga untuk perbaikan kondisi keluarga di masa depan, Reken mengajak keluarga dan beberapa kerabatnya untuk turut belajar.
Benar saja, setelah mendapat pelajaran dan segera memulai usaha keramik lukis di sebuah gubuk sederhana di tepi Timur Kota Denpasar, “Bali Permata” besutan Reken menjadi pemain utama pada kerajinan ini sekaligus mengantar keluarga dan kerabatnya melanglang lintas benua mengunjungi berbagai negara untuk memasarkan karya-karya mereka.
Yang istimewa presiden dan petinggi beberapa negara mengoleksi karya-kara lukisan keramik bercorak gaya Batuan, Pengosekan, Kamasan, dan Young Artist itu sebab hampir semua Presiden RI menjadikannya sebagai cindera mata untuk tamu negara yang berkunjung ke Indonesia.
Seperti apa perjalanan “Bali Permata” hingga eksis melebihi tiga dekade, Maria Pankratia dan I Wayan Martino dari Denpasar Kreatif mewawancarai I Putu Yuliartha, putra sulung Reken yang kini meneruskan perusahaan kerajinan tersebut. Berikut petikannya:
Bagaimana mulanya produk “Bali Permata” dikenal hingga ke mancanegara?
Waktu mendirikan usaha ini sesungguhnya dia juga bekerja di Bali Beach Hotel (sekarang Inna Grand Bali Beach Hotel). Di saat tidak bertugas, ayah saya nyambi sebagai tour guide. Nah, ketika melakukan guiding untuk turis dari luar negeri itulah ayah mulai memperkenalkan produk kami kepada tamu-tamunya.
Dalam tempo yang tak terlalu lama, produk-produk yang ditawarkan ayah laku terjual. Saya lupa berapa harga perlembar lukisa keramik saat itu… Seingat saya sekitar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Sekarang, produk yang sama kami jual Rp2 juta hingga Rp3 juta.
Tapi, meski mendapat tanggapan yang sangat baik dari para turis saat itu, hasil yang kami dapat tak cukup untuk mendongkrak perusahaan menjadi lebih besar lagi. Hingga beberapa tahun perusahaan kami bergulir secara sangat sederhana: bikin produk, kasih harga, tawarkan, ada profit, jual.
I Putu Yuliartha Photo by I Wayan Martino
Bagaimana selanjutnya?
Dalam perjalanan akhirnya kami dikenal oleh Pemerintah dan melalui Dekranasda dan Dinas Perindustrian kami diberi kesempatan berpameran di PKB (Pesta Kesenian Bali – red). Itu masih sekitar akhir 1980an. Pada saat itulah Ibu Tien Soeharto (ibu negara saat itu –red) lewat dan melihat produk kami. Ibu Tien tertarik dan menunjukkan produk kami pada Presiden (Soeharto) yang juga langsung tertarik begitu melihatnya.
Beberapa waktu setelah itu kami mendapat undangan ke Jakarta untuk berpameran. Tapi, dasar orang desa, kami justru merasa gentar. Maklum kami belum tahu sama sekali Jakarta itu sepert apa, siapa yang harus dituju di sana, bagaimana cara membawa barang ke sana, dan sebagainya.
Belakangan, setelah kami tak berangkat, barulah ada penjelasan tentang bagaimana hal-ihwal mengikuti pameran kerajinan atas rekomendasi pemerintah.
Pada 1991 kami diundang kembali perpameran di Jakarta. Kami datang. Waktu itu pamerannya di JCC (Jakarta Convention Center – red). Saat-
itu kami memboyong semua produk yang kami miliki. Kayak orang pindahan ke Jakarta, hahaha… Itu, lagi-lagi, karena kami tidak tahu bayangan tentang situasi Kota Jakarta.
Tak diduga, dalam pameran yang berlangsung 14 hari tersebut, pada hari ke empat produk kita sudah habis terjual. Jadi kami kayak orang kaya baru waktu itu.
Meski begitu, kami tetap macam orang asing di Ibu Kota. Kami tidak tahu hendak kemana setelah barang kami habis terjual. Jadi kami hanya jalan-jalan di sekitar pameran dan di situlah ayah mendapat lebih banyak wawasan tentang industry kerajinan.
Apa yang membuat produk keularga Anda laku terjual saat itu?
Entahlah. Mungkin kualitasnya. Saya tidak tahu. Tapi seingat saya Menteri Pariwisata, Joop Ave, dan Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, ikut mempromosikan produk kami. Mungkin ini menjadi semacam jaminan bagi konsumen mengenai kualitas produk kami.
Selanjutnya?
Pada sebuah pemeran kami bertemu dengan Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto –red), ketua sebuah yayasan yang membina perajin-perajin tradisional di seluruh Indonesia. Waktu itu, diantar oleh seorang kerabat, ibu saya bertemu Mbak Tutut yang selanjutnya memasukkan perusahaan kami dalam daftar usaha binaannya.
Semenjak itulah perusahaan kami masuk ke bursa nasional dan internasional. Mengikuti mekanisme yang berlaku pada saat itu kami mendapat dukungan berpameran di berbagai tempat di dalam dan luar negeri. Melihat kemanfaatannya, begitu merasa sudah mampu melakukan sendiri, meski pada saat-saat tertetu kami tidak mendapat fasilitas pemerintah untuk berpameran, keluarga kami tetap memutuskan untuk mengikuti pameran atas biaya sendiri.
Siapa saja yang melukis pada awalnya?
Ya ayah saya. Tapi ayah saya tidak intens melukis. Ia lebih banyak coloring. Itu karena dia nyambi bekerja di hotel dan memasarkan produk saat menjadi tourguide. Yang banyak melukis adalah saudara saya, saya sendiri, dan beberapa kerabat lainnya.
Kami kan dari Gianyar. Jadi kegiatan melukis bukan bukan hal rumit bagi kami sekeluarga. Saya sendiri yang waktu itu masih SMP sudah bisa melukis karena pengaruh lingkungan.
Kini berapa karyawan di perusahaan Anda?
Jumlah karyawan kami naik-turun. Mula-mula 30 orang. Selanjutnya terus berkurang. Sekarang, tinggal tujuh orang.
Kenapa demikian?
Perubahan situasi yang menyebabkan demikian. Kami mengurangi karyawan ketika terjadi krisis ekonomi dan puncaknya pada kejadian bom di Kuta.
Tapi kami tak mau terpuruk terlalu lama. Perubahan situasi ini kami gunakan sekaligus untuk mengubah pola kerja kami agar lebih efisien dan perusahaan bisa bertahan. Kami mengubah skema kerja. Karyawan yang dulu bekerja di workshop, kini kami bebaskan untuk bekerja di rumah sehingga mereka dapat mengatur waktu mereka untuk mencari income tambahan atau mengerjakan aktivitas sosial di desa. Dan itu terbukti membuat kami mampu bertahan hingga kini.
Bagaimana perkembangan pasar yang perusahaan Anda alami selama lebih dari 30 tahun ini?
Pasar terus berubah-ubah. Dulu, di awal-awal usaha kami menanjak, apa pun lukisan yang kami buat pada produk kami pasti laku. Belakangan, hal itu berubah. Orang mulai memilih-milih dan cenderung
Foto by I Wayan Martino
memilih yang premium. Kalau suka, mereka beli tanpa memperhitungkan harga. Yang penting mereka tahu kulaitas produk yang akan mereka beli itu terjamin.
Jadi tidak massif lagi?
Memang dari awal tidak massif. Kita kan produk rumahan. Tapi belakangan, pasar kami lebih mengerucut ke premium dan kami meladeni pasar di wilayah itu.
Seperti saat ini, kami sedang melayani pesanan dari Istana (Kepresidenan –red)…
Masih sering mendapat pesanan dari Istana Presiden?
Hampir semua Presiden RI pernah memesan produk kami. Ada sih beberapa presiden yang tidak memesan produk kami tapi sebagaian besar presiden kita pernah memesan produk kami untuk souvenir bagi tamu-tamu negara yang dijamu di Istana.
Telah dipasarkan ke mana saja produk-produk Anda?
Ke berbagai negara di Eropa, Asia, dan Australia. Kami beredar dari pameran ke pameran. Lalu ada yang datang ke tempat kami, seperti dari Jerman, misalnya, dulu sampai tiga kali dalam setahun. Mereka datang, memilih, membayar, dan mengirim sendiri ke negaranya. Bayarannya cash.
Jadi transaksinya sangat sederhana. Karena dalam berbsinis kami memang orthodox, hahaha..
Kenapa begitu?
Ya karena kami industri rumahan. Kalau ada yang mesan 1000 item, misalnya, belum tentu kami mampu memenuhi pesanan itu. Kami hanya memenuhi pesanan semampu kami. Karena itu kualitas kami jaga dengan sebaik-baiknya.
Apa rahasia sukes usaha kerajinan keramik Anda?
Kekhasannya. Produk kami tiada duanya. Orang tidak mungkin menemukannya di tempat lain.
Bahkan antara satu produk dengan produk lain yang kami buat pun tidak ada yang sama persis. Masing-masing unik.
Dari sekian puluh tahun perjalanan, apa masalah utama perusahaan Anda?
Knowladge. Pengetahuan menganai seni lukis keramik kan adanya di luar. Untuk maju kita harus sering keluar negeri untuk belajar. Saya kerap pergi ke Australia dan Eropa untuk belajar tentang seni lukis keramik.
Masalah lain, soal material. Sebagian besar material yang kami gunakan dalam produksi harus kami impor. Ini berpengaruh pada harga produk yang ujungnya menurunkan daya saing kami di pasar internasional.
Masalah selanjutnya adalah soal sumber daya manusia. Ini lebih berkaitan dengan manajemen yakni bagaimana mengatur sekelompok pekerja seni agar dapat bekerja bersama dalam satu sistem kerja. Ini
sangat sulit. Anda tahu bagaimana para seniman bekerja, mereka sering moody..
Bagaimana Anda mengatasinya?
Masalah bahan, kita datangi ke negara asalnya. Walaupun ada internet , tetap saja pada saat-saat tertentu kita perlu hadir langsung untuk memastikan beberapa hal penting yang sangat berpengaruh terhadap kualita sproduk.
Soal tenaga kerja, kami menjadikan kondisi itu sebagai potensi. Kami bebaskan mereka berkarya sesuasi ritmenya sendiri sehingga masing-masing memiliki kekhasan.
Foto by I Wayan Martino
Yang penting, mereka menepati tenggat waktu yang disepakati bersama. Selanjutnya, kami jual keunikan mereka sebagai karya yang tak ada duanya. Jadi kami mengubah kelemahan mereka menjadi keunggulan… Hanya saja, kita harus pandai-pandai memadukan ritme mereka agar tak bertabrakan satu dengan yang lain.
Bagaimana soal pemasaran?
Di pasar lokal tidak ada masalah. Untuk pasar luar negeri, kami menghadapi masalah packaging. Itu dikarenakan produk kami merupakan barang pecah-belah. Pembeli dari luar negeri sering ragu terutama kalu mereka ingin membeli produk yang berukuran besar. Kalau yang berukuran kecil sih no problem.
Bagaimana dengan persaingan?
Itu juga masalah penting, tapi kami tak menjadikannya sebagai persoalan yang harus diadukan ke pihak lain karena dalam setiap usaha persaingan selalu ada. Kitalah yang harus pintar membuat strategi untuk memenangi persaingan. Setidaknya survive di ceruk yang kita pilih.
Siapa pesaing terberat?
China! Mereka rajanya soal keramik.
Pernah ke China untuk studi banding?
Pernah. Saya juga pernah ke Jepang membawa produk kami. Saat itu produk kami menjadi produk unggulan ASEAN. Kami menjadi duta ASEAN ke Jepang untuk ASEAN Center. Kurator Jepang terpesona melihat lukisan keramik kita. Mereka kagum kita bisa melukis seperti itu di atas keramik. Namun, tetap saja, dibanding China kita kalah.
Kekalahan kita pada bahan. Bahan keramik China lebih light tapi kuat sehinga produk keramik mereka secara keseluruhan menjadi lebih bagus. Tapi ini kan bukan permasalahan kami. Kami kan hanya painting.
Kekalahan lain kita dari China untuk perdagangan di Jepang adadalah soal jarak. Pengiriman dari Indonesia ke jepang, lebih lama ketimbang pengiriman dari China ke Jepang. Tapi secara desain mereka mengakui bahwa desain kita tiada duanya karena mengusung desain Bali.
Foto by I Wayan Martino
Bagaimana rencana pengembangan ke depan?
Ke depan kami akan mengubah pola produksi. Setahun lagi mereka para karyawan kami yang kini berproduksi di rumah masing-masing akan kembali bekerja secara reguler di workshop kami. Bukan karena sekarang lebih banyak pesanan dibanding sebelumnya, tetapi karena usaha ini akan kami ubah menjadi sebuah company yang tidak lagi hanya membuat produk. Jadi nantinya company kami juga akan melayani kursus. Nantinya pengunjung bisa melakukan painting sendiri dengan bahan dan desain yang kami siapkan. Mudah-mudahan awal tahun depan sudah terealisasi.
Bagaimana gagasan baru ini muncul?
Saya melihat sejauh ini teknik melukis di keramik belum banyak tersebar luas di Bali. Jadi kami merasa perlu untuk turut menyebar luaskan.
Itu yang pertama. Alasan kedua, setelah sekian tahun berjalan saya berpikir bahwa perusahaan ini semestinyalah tidak hanya menjadi pusat pembuatan produk saja tetapi juga sebagai pusat edukasi. Menurut saya yang terakhir itu akan menambah value bagi perusahaan dan kami-kami yang menjalankannya.
Pertimbangan rasionalnya begini, sebagai perusahaan keluarga, sangat jauh kemungkinan kami untuk menjadi industri besar yang padat modal. Sebab kompetitor sudah sedemikian banyak dan majunya. Jika bertahan sebagai produsen saja, kami khawatir suatu saat akan tergusur oleh keadaan karena para painter kami tentu punya batas usia produktif di mana pada titik tertentu pasti akan mengalami kemunduran kemampuan dalam berkarya. Down grade.
Selama ini kami tertutup. Kami tak terlalu memikirkan kemungkinan untuk berbagi pengetahuan. Setelah melakukan introspeksi, kami membaca bahwa ada ruang-ruang kosong yang tak mungkin kami isi sendiri secara penuh sementara ada ruang-ruang lain yang belum terisi dan bisa kami isi.
Loncatan berpikir yang luar biasa..
Terima kasih.
Selain itu, kami juga sedang mengumpulkan produk-produk lama yang sebenarnya sudah kami jual . Saya ingin di tempat usaha kami juga ada museum keramik lukis.
Singkat kata, ke depan kami berencana untuk mengubah diri menjadi pusat pengembangan ceramic painting di Indonesia.
Ada himbauan bagi anak muda yang ingin terjun ke dunia yang sama?
Untuk kreator muda, mungkin saya agak mengalami fase yang berbeda zaman dengan generasi now. Di zaman saya, segala hal sulit di dapat. Tantangan kita lebih berat pada saat itu untuk mencari tahu. Sekarang, dengan ketersediaan informasi yang sedemikian deras dan canggihnya, rasanya hingga ke kolong-kolong mana pun informasi bisa kita temukan. Harusnya hal itu membuka peluang lebih luas bagi para kreator muda. Namun dengan berbagai teknologi yang sudah berkembang, ada satu hal yang tidak
boleh kita lepas yakni akar kultur yang menjadi faktor pembeda kita dengan para pesaing kita.
Sebagai contoh, kami megambil gaya dan spirit seni lukis Bali dan bisa bertahan di persaingan global. Bayangkan jika kami mengangkat lukisan China ketika bersaing di pasar global… tentu akan kalah jauh.. Apalagi sekarang barang print sudah begitu membombardir. Dengan harga yang sangat murah orang sudah bisa mendapat keramik bergambar. Dengan Rp25 ribu orang sudah dapat mug dengan foto digital. Nah, dengan mengangkat kultur Bali, kami bisa menjual barang serupa dengan harga Rp400 ribu.
Dalam hal ini kami menghadirkan pride orang-orang tentang Bali. Kepada semua orang kamu berkata melalui karya bahwa kami memindahakan keindahan Bali ke rumah mereka melalui lukisan keramik. Tag line kami “Bring the beauty of Bali to your home trough our ceramic painting.”
Apa harapan Anda untuk Pemerintah?
Pemerintah harus menyediakan lebih banyak ruang bagi pelaku industri kreatif untuk berekspresi lebih leluasa; memperbanyak pelatihan manajemen; memperbanyak informasi akses permodalan serta cara mengaksesnya; mendorong kemampuan kepemimpinan kreatif di komunitas-komunitas; serta membuat regulasi yang mengatur bagaimana fasilitasi Pemerintah harus dijalankan. Hal terakhir ini guna menghindari kemalasan dan kemanjaan pada pengusaha yang bergantung pada fasilitasi. **
http://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/Martino-R.jpg6681000Adminhttp://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/Logo-BeKraf-Denpasar_png-300x138.pngAdmin2018-02-08 08:31:222018-02-08 08:31:22Bali Permata - Yang Berkilau dari Kertalangu
http://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/layangan_20150823_085218-1.jpg498996PulauDewatahttp://www.denpasarkreatif.com/wp-content/uploads/Logo-BeKraf-Denpasar_png-300x138.pngPulauDewata2017-09-23 09:41:262017-09-23 09:41:26Layang-layang Jumbo di Langit Bulan Juli