Denpasar Film Festival 2018

Saat ini ada semacam stereotype dalam pembuatan film dokumenter di Tanah Air. Sebagian besar para pembuat film dokumenter melakukan pendekatan reportase, dimana pesan ditonjolkan dengan narasi. Pada kebanyakan karya-karya dokumenter pesan biasanya membebani karya. Karya semata-mata dipahami sebagai medium untuk menyampaikan pesan, berakibat medium kehilangan kemungkinan-kemungkinan untuk mengungkapkan dirinya sendiri yang kadang berkonsekuensi tak terduga. Demikian dikatakan oleh Bre Redana ketika mewakili Dewan Juri Lomba Film Dokumenter Denpasar Film Festival (DFF) 2018 pada Malam Penganugerahan yang digelar di Youth Park Taman Kota, Lumnintang, Minggu (23/9/2018). Hal itu, menurut Bre, membuat kejumudan dalam menonton film dokumenter karena cara penuturannya berpusar dari itu ke itu. Kerana itu, Dewan Juri merasa mendapat kejutan luar biasa ketika dalam lomba film dokumenter yang diselenggarakan oleh DFF muncul karya-karya yang berani menawarkan cara bertutur yang berbeda dengan kelaziman di Indonesia. Itu pula yang menjadi alasan bagi Dewan Juri untuk memilih Film dokumenter “Etanan” karya Sutradara Riandhani Yudha Pamungkas (Jember) sebagai Film Terbaik Denpasar Festival (DFF) 2018 untuk kategori umum.

Menurut Bre, Dewan Juri yang terdiri dari Rio Helmi, Panji Wibowo, I Wayan Juniartha, Prof. I Made Bandem, Tonny Trimarsanto, dan Bre sendiri, Etanan unggul kerena gaya berceritanya berbeda dengan yang selama ini umum digunakan oleh para pembuat film dokumenter di Indonesia. Dia dibangun dengan konstruksi dramatik yang baik berdasar bahasa teknis mediumnya (film).

“Etanan memperkuat barisan film yang merubuhkan anggapan banyak orang bahwa film dokumenter tidak mungkin disajikan dengan konstruksi dramatik sebagaimana yang disajikan film fiksi,” ujar Bre Redana selaku Ketua Dewan Juri.

Film ini menyisihkan empat film unggulan lainnya yakni Children On The Street (Yogyakarta), Kerjakarta (Jakarta), Rita (Singaraja), dan Ojek Lusi (Tangerang). Atas keberhasilannya tersebut Etanan berhak atas Tropi Cili DFF dan uang tunai sebesar Rp20juta. Hadiah diserahkan kepeda pemenang oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar I Gusti Ngurah Bagus Mataram pada acara Malam Penganugerahan DFF 2018 di Youth Park Taman Kota, Lumintang, Minggu (23/9/2018).

 

Selain Etanan, Dewan Juri juga memberi apresiasi khusus untuk film “Children on The Street” karya Sutradara Fuad Hilmi Hirnanda (Yogyakarta) karena kemampuan filmmakernya untuk memperoleh akses begitu dekat dengan subyeknya.

Pada Kategori Pelajar film “Penempa Bara” karya Sutradara AAI Sari Ning Gayatri (SMAN 3 Denpasar) tampil sebagai film terbaik, disusul Bebancihan karya I Komang Andika Pratama (SMAN 5 Denpasar) sebagai juara 2 dan Kampung Gemplong karya Sutradara Bayu Ragil Saputra (SMKN 1 Karanggayam, Kebumen) sebagai juara 3.

Secara keseluruhan, Dewan Juri mencatat bahwa pada DFF tahun ini terjadi adanya perkembangan yang signifikan dibanding sebelumnya. Menurut mereka, setelah melihat film-film unggulan DFF 2018 ini mereka berkesimpulan bahwa terjadi perkembangan luar biasa dalam DFF 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baik pada unggulan kategori pelajar maupun (terutama) umum, mereka melihat adanya penambahan ketrampilan teknis yang signifikan. Ketrampilan teknis yang dimaksud adalah ketrampilan dalam bidang visualisasi, suara, observasi, dan riset, dimana di balik semua itu juga terlihat adanya dedikasi.

Konsistensi penyelenggaraan festival dalam beberapa hal telah menghasilkan corak tersendiri pada film-film yang ambil bagian dalam DFF. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan festival sejenis di beberapa daerah di Indonesia, niscaya akan melihat bagaimana adanya corak khusus pada film-film yang disertakan dalam DFF dibanding dengan festival-festival lain di berbagai daerah.

“Terutama pada kategori pelajar, kekhususan tadi menjadikan DFF memiliki karakter sebagai semacam “festival pembinaan” dan langkah awal menuju festival film lainnya. Festival ini cukup berhasil meningkatkan kualitas teknis pembuatan film dokumenter di kalangan pelajar, dan membangkitkan antusiasme terhadap tema-tema khusus, terutama tema seni budaya,” papar Bre.

Di bagian lain, Bre juga mengatakan bahwa dewan juri merekomendasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tanggungjawab terhadap dunia sinema di Indonesia terutama pemerintah, melakukan langkah tepat untuk mendorong perkembangannya. Misalnya dengan memikirkan keikutsertaan karya-karya ini pada festival internasional, serta membikin semacam creative hub untuk meningkatkan interaksi kalangan film dan masyarakat, dimana dari situ diharapkan kreativitas makin berkembang.

Direktur DFF, Agung Bawantara, membenarkan pernyataan Dewan Juri dan Kurator tersebut. Menurutnya DFF 2018 memang mengalami lonjakan yang signifikan dari segi kualitas maupun kuantitas karya peserta.

“Ada 107 film yang dikirimkan peserta dari berbagai kota di Indonesia, sebagian besar berkualitas bagus,” ujarnya.

 

Agung memaparkan, selain lomba film dokumenter, pada DFF 2018 juga diselenggarakan beberapa program yang kait-berkait antara lain kemah pelatihan dan pendampingan produksi film dokumenter, lomba dan pameran foto esai, pemutaran dan diskusi film dokumenter, serta lomba resensi film sebagai langkah literasi.

Sementara itu, Walikota Denpasar dalam pidatonya yang dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar berpesan agar DFF melebarkan lagi langkahnya dengan mengembangkan semangat kewirausahaan pada para pegiat film dokumenter. Jadi para peserta pelatihan film tidak melulu dibekali dengan teori dan praktek produksi film melainkan juga ilmu kewirausahaan. DFF sendiri pun harus mulai bergerak untuk mampu memunculkan potensi-potensi ekonomi dari aktivitas perfilmannya.

Walikota menyadari bahwa genre dokumenter adalah sesuatu yang penting untuk pembentukan karakter bangsa namun saat ini masih relatif sulit untuk dijadikan wahana mencari uang. Tapi, menurut Walikota, dengan kreativitas dan upaya-upaya kolaboratif hambatan untuk menjadikannya sebagai titik perputaran ekonomi pasti bisa dilaksanakan. Misalnya berkolaborasi dengan komunitas pemerhati sungai, komunitas pemerhati permainan tradisional, komunitas pemerhati tradisi, dan lain-lain. Dari kolaborasi positif tersebut niscaya akan lahir program-program cemerlang untuk menjadikan aktivitas yang sekian lama dijalankan secara konsisten memiliki nilai ekonomi.

“Dengan demikian, selain turut membantu membangun karakter bangsa, aktivitas sosial yang dijalankan oleh Denpasar Film Festival dapat menciptakan kebermanfaatan ekonomis bagi masyarakat,” tegas Walikota. **

 

 

 

 

 

 

Festival of Indonesianity in the Arts (FIA)#1 – Empowering Taksu

Festival of Indonesianity in the Arts (FIA)#1
EMPOWERING TAKSU
Selasa, 11 September 2018 Pukul 18.00 WITA

Sebagai kelanjutan dari sarasehan dan pembukaan Festival of Indonesianity in the Arts (FIA)#1
‘Empowering Taksu” yang telah digelar kemarin malam (10/11), hari ini dihadirkan pertunjukan seni karawitan “Greng” buah cipta Saptono, tari Bedhaya Putri Cina “Bhatari Krodha” karya Dyah Kustiyanti dan Wayang Wong Inovatif “Kumbakarna Lina” ciptaan I Kadek Widnyana.

Tari Bedhaya Putri Cina “BHATARI KRODHA”

Penciptaan seni ini didasari pada Tari Bedhaya dengan latar cerita raja Bali Kuna, Dalem Balingkang. Mengisahkan cinta segi tiga Raja Jaya Pangus, Putri Kang Cing Wei, dan Dewi Danu. Perkawinan Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei merefleksikan adanya kerukunan antar agama dan suku. Jumlah 9 penari dipilih sebagai lambang makrokosmos dan mikrokosmos.

GRENG: Sebuah Penataan Gending-Gending Klenengan

Greng memiliki arti menarik, mengejutkan, bisa juga sebagai rasa keindahan yang menyentuh hati menjadi agung, atau bisa diartikan serentak bareng (bersama).

Materi sajiannya adalah gending-gending yang telah lama ada, dari berbagai ragam bentuk, laras, pathet yang kemudian karakter, dan fungsi sosial diolah, ditata, dan digarap dengan vokabuler karawitan Jawa yang utuh padu.

KUMBAKARNA LINA – Karya Pedalangan Wayang Wong Inovatif

Drama Tari Parwa Inovatif ini menggunakan cerita Ramayana sebagai sumber lakonnya. Secara konvensional Wayang Wong hampir semua tokohnya menggunakan topeng, kecuali tokoh Rama, Sita, Wibisana, dan Trijata. Namun dalam garapan ini, akan diberikan sentuhan inovasi berupa penataan lampu, smook/asap, layar dan tata panggung (adegan Durga), serta dihadirkan tokoh pencerita sekaligus sebagai narator.

FESTIVAL BUDAYA BAPANG BARONG LAN MEKENDANG TUNGGAL

Jumat, 30 Maret 2018, pukul 13.00 WITA

Sebagai wujud kepedulian pada seni budaya Bali, berikut pelestarian dan upaya pengembangannya, Tribun Bali didukung oleh Bentara Budaya Bali menyelenggarakan “Barong Festival” yang mengagendakan kompetisi Bapang Barong (tarian Barong) dan Mekendang Tunggal, terbuka se-Bali, khususnya untuk seniman-seniman muda.

Adapun materi Barong yang dilombakan adalah terkait Topeng, Condong, Intip Jangkrik, dan Omang, diikuti seniman-seniman muda berusia antara 17 hingga 30 tahun. Selain menyediakan piala dan piagam bagi pemenang, tersedia pula hadiah total senilai puluhan juta rupiah.

Tari Barong memiliki sejarah yang panjang, mencerminkan transformasi sosial kultural masyarakat Bali. Sebagai sosok mitologis, kehadiran Barong selalu disertai penampilan Rangda, cerminan nilai-nilai Rwa Bhineda, yakni pertarungan antara kebaikan dan kejahatan yang berlangsung terus menerus sebagai gambaran akan upaya meraih keharmonian.

Serangkaian dengan festival ini, pada hari sebelumnya, tepatnya tanggal 25 Maret 2018, Bentara Budaya Bali secara khusus menyelenggarakan Bali Tempo Doeloe #20 yang merujuk tajuk “Barong, Mitologi Kini dan Nanti”. Dialog ini mengulas perihal Sosok Barong mitologis tertaut transformasi sosial kultural masyarakat, juga hal-hal esensial Kini dan Nanti bersama narasumber terpilih.

Selengkapnya : https://bentarabudayabali.wordpress.com/2018/03/02/festival-budaya-bapang-barong-lan-mekendang-tunggal/

 

Yang Meliuk dan Mendamba Hamparan

Bermain layang-layang berukuran jumbo sudah mentradisi di Bali. Namun tradisi itu kini dibayangi kekhawatiran akan punah sebab lahan untuk menerbangkannya semakin menyempit. Segenap pihak terkait harus turut memikirkannya secara serius.

 

Maria Ekaristi

Tak kurang dari 641 layang-layang berukuran jumbo mengudara secara bersamaan pada siang pekan ketiga bulan Agustus itu. Maka langit biru di atas pesisir timur Kota Denpasar itu pun jadi tampak semarak. Persis seperti aquarium yang dipenuhi ikan-ikan hias yang meliuk-liuk gemulai.

Tapi itu belum seberapa.  Pernah tiga sebelum itu, tepatnya pada 23 Agustus 2014, langit di atas kawasan Sanur semarak oleh lanyang-layang beraneka ragam yang terbang bersamaan. Jumlahnya 1.740 layangan. Maklum, hari itu adalah puncak acara Lomba layang-layang dalam rangka Sanur Village Festival 2014. Itulah rekor jumlah layangan terbanyak yang mengudara dalam waktu bersamaan di Pulau Dewata.

Soal layangan, banyak hal spektakuler yang terjadi di Bali. Entah dari ukurannya yang besar, jumlahnya yang banyak, hingga penggemarnya yang fanatik. Salah satu contoh, mengudaranya Nagaraja, sebuah layang-layang janggan super jumbo berbobot mencapai 707 kilogram! Dengan dorongan angin berkecepatan 13,2 knot per jam layang-layang janggan yang memiliki ekor sepanjang 250 meter itu mengudara dengan anggun. Padahal secara teoritis layangan seberat itu hanya mungkin terbang dengan dorongan angin berkecepatan minimal 15 knot per jam.

Banyak lagi cerita menarik tentang  layang di Bali. Sebab kegiatan ini menjadi hobby banyak orang dan memiliki akar kultur yang cukup dalam. Ia berawal dari tradisi agraris dan diberi spritual melalui legenda Rare Angon, Putra Dewa Siwa.

Kini, setiap musim layangan yang biasanya berlangsung di Bulan Juli hingga Agustus, ratusan komunitas penggemar layang-layang di Denpasar dan sekitarnya merayakannya dengan penuh suka-cita.

Dilihat dari sisi ekonomi (kreatif), hal di atas merupakan potensi yang luar biasa. Bayangkan, berapa uang berputar di setiap musim layangan sedari pembelian bambu, kain, tali, hingga penjualan makana dan minuman untuk para pelayang yang lapar dan haus usai menguras tenaga menaikkan layangan mereka yang berukuran besar.

“Ini potensi besar yang semestinya dihitung dan dikemas secara cermat,” cetus Ni Luh Djelantik, pengusaha sukses yang menggemari layang-layang, saat tampil sebagai pembicara dalam sebuah dialog budaya di Hotel Griya Santrian beberapa bulan lalu.

Menurutnya, jika dikelola secara baik, kegiatan yang sudah mentradisi ini pasti mendatangkan manfaat secara sosial atau ekonomi bukan saja pada saat musim layangan, melainkan pada bulan-bulan setelahnya.  Menurutnya banyak hal yang bisa digarap selain layang-layang yang diterbangkan seperti aksesoris, senirupa, miniatur, hingga fotografi layang-layang.

Untuk itu, lanjut Djelantik, pengembangan layang-layang sebagai industri harus didukung semua pihak, dan Pemerintah harus turut andil semisal menyediakan lahan yang kini semakin menyempit.

Tentang lahan bermain layangan, Andreas O. Green pengamat layang-layang asal Swedia menilai potensi besar layang-layang di Bali belum digarap maksimal. Bermain layangan dibiarkan sebagai kegemaran masyarakat yang hany asebatas kegemaran semata. Bukan dilihat sebagai potensi besar yang harus digarap secara serius. Padahal di Balilah satu-satunya di dunia aktivitas berlayangan yang akarnya melekat pada tradisi masyarakat secara umum. Andreas membandingkan bagaimana Perancis yang tradisi berlayangannya tak melekat jauh dalam tradisi masyarakatnya menyediakan lahan yang sangat luas untuk bermain layang-layang. Ia juga membandingkan dengan Diraja Malaysia yang menyediakan bukit khusus untuk bermain dan berfestival layang-layang, dan menjadikannya destinasi wisata lengkap dengan fasilitas hotel bintang limanya.

“Di Bali hal itu tidak terjadi. Semua bergerak sendiri-sendiri dan hanya sekedar hobby,” ucapnya.

Hal itu diakui oleh Made Yudha, Ketua II Bidang Lapangan Pelangi Bali. Menurutnya sejauh ini, aktivitas berlayangan masih dipandang sebatas kegemaran masyarakat saja.

“Belum ada langkah yang lebih jauh dari itu,” ucapnya.

Yang ironis, menurut Yudha, di tengah gegap-gempita aktivitas berlayangan pada setiap musim layangan, ada kekhawatiran tradisi layang-layang akan punah. Penyebabnya lahan tempat bermain layang-layang selama ini telah dikuasai investor dan kemungkinan akan mengubahnya menjadi hotel atau kepentingan komersial lainnya.

“Sejauh ini sih, memang belum ada tanda-tanda ke arah situ. Tapi alangkah baiknya masyarakat adat dan Pemerintah mengantisipasi hal itu demi kelestarian tradisi berlayangan ini,” harapnya sembari menegaskan bahwa layang-layang memang meliuk di udara namun ia memerlukan hamparan lahan luas untuk menerbangkannya. ***

Perayaan Clothing Bernama PICA Fest

Paradise Island Clothing Association (PICA) Fest diklaim sebagai festival clothing terbesar di Bali bahkan Indonesia Timur. Semangat muda yang terpancar dalam penyelenggaraannya membuat festival ini sangat dinanti-nantikan.

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Wayan Martino, Agung Bawantara

Ini adalah festival anak muda yang paling ditunggu di Bali. Betapa tidak, sebagian gairah muda mendapat salurannya pada festival ini. Ya, perpaduan antara clothing, musik,dan berbagai aktivitas komunitas memberi ruang yang sangat besar bagi ekspresi dan gaya hidup anak muda masa kini. Yang terbaru, ajang tahunan ini digelar pada awal Maret 2017 di Lapangan Parkir GOR Ngurah Rai, Jalan Melati Denpasar. Saat ini, penyelenggara telah bersiap-siap lagi untuk penyelenggaraan di tahun 2018.

“Penyelenggaraannya kemungkinan di bulan yang sama lagi. Tapi itu tergantung situasi juga mengingat tahun depan adalah saat-saat Pilgub,” ujar Febry Iswara, Public Relation PICA.

Gelaran PICA berawal dari terbentuknya asosiasi pengusaha clothing indie pulau dewata atau Paradise Island Clothing Association (PICA) pada awal 2014. Asosiasi ini dibentuk untuk menyatukan para pemilik clothing di Bali dalam sebuah festival yang saling menguntungkan dan saling membesarkan. Lahirlah PICA Fest.

 

 

FOTO : Dok PICA FEST

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Begitu digelar, festival ini ternyata membuahkan sukses besar bagi seluruh anggota asosiasi. Selain kunjungan ke distro masing-masing, kunjungan ke festival ini terus meningkat dari tahun ke tahun.Bahkan, pada tahun 2017 lalu dengan yakin mereka menarget kunjungan sebanyak 20 ribu orang setiap hari, dan itu tercapai!

“Dalam empat hari festival total kunjungan sekitar 80 ribu hingga 90 ribu orang,” terang Febry.

Sebagai pembanding, ketika pertama kali digelar, PICA Fest 2014 “hanya” dikunjungi 20.243 orang selama tiga hari. Pada2015 meningkat menjad I 34.980 selama tiga hari. Dan, tahun 2016 meningkat menjadi 58.384 orang selama tiga hari.

Seperti tahun-tahun sebelumnya PICA Fest tidak hanya merangkul para anak muda penggiat clothing indie di Bali, tetapi juga melibatkan banyak sekali komunitas-komunitas kreatif Bali. Dari komunitas perduli lingkungan, otomotif, sosial, tattoo, fotografi tentu saja music dan komunitas lainnya.

 

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Tapi yang paling ditunggu-tunggu tentu saja produk fashion indie Bali terbaru.Apalagi para tenan yakni 56 brand ternama tidak segan member diskon dalam prosentase yang cukup besar.

Tenda khusus dari Bali Indie Movement yang mewadahi band-band indie Bali juga menjadi magnet besar dalam acara ini. Di tenda akan dijual produk-produk merchandise asli dan rilisan fisik dari band-band yang tampil di PICA Fest 2017. Kurasi pemilihan brand peserta festival dilakukan dengan memperhatikan banyak faktor, selain kualitas brand-brand ini juga harus secara aktif menunjukan eksistensinya.

Menampilkan 60 lebih grup band indie di Bali, selain sebagai festival clothing terbesar, festival ini pun bergerak menjadi festival band indie terbesar di Bali. Ada pun barisan band-band kondang yang tampil antara lain Lolot, Jonny Agung, Navicula, Scared Of Bums, Devildice, dan Dialog Dini Hari. Tampil juga pendatang baru yang memetikperhatian public yakni Zat Kimia, Rollfast, Marco, Dromme, Janggar dan Lili of The Valley.***

 

Bali dalam Lintasan Sejarah Jazz Indonesia

Sebagai pulau yang indah dan lekat dengan aktivitas kreatif, Bali mempunyai tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Berikut sekelumit catatannya.

Agung Bawantara

Bali punya tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Sekali pun dalam catatan itu posisi Bali bukan dalam keterlibatan musisinya untuk turut mewarnai blantika jazz Indonesia, melainkan sebagai pulau yang keindahannya menginspirasi para musisi jazz terbaik di Indonesia membuat sebuah album –belakangan menjadi sangat legendaris— bertajuk “Djanger Bali”. Rekaman itu dibuat di sela-sela perjalanan mereka melakukan tur konser di Eropa.

Kisah lengkapnya, begini. Pada 1967 kelompok jazz Indonesia bernama Indonesian All Stars yang terdiri atas Jack Lesmana (gitar), Bubi Chen (piano, zither), Maryono (saxophone, flute, suling), Jopie Chen (double bass) dan Benny Mustafa van Diest (drums) melakukan tur konser menjelajahi berbagai kota di Jerman Barat (saat itu) selama kurun waktu hampir sebulan. Pada tur tersebut mereka bermain jazz nyaris tanpa henti. Mereka tampil di berbagai acara pentas musik di negara itu termasuk di Berlin Jazz Festival. Di sela-sela acara tur yang padat itulah para musisi jazz terbaik Indonesia tersebut mendapat tawaran membuat rekaman album. Tawaran tersebut datang dari seorang tokoh dan produser jazz di Jerman, Joachim Berendt, yang terpesona pada musikalitas Jack Lesmana dan kawan-kawan itu. Joachimlah yang kemudian berperan sebagai produser album yang diberi tajuk Djanger Bali tersebut.

Foto By Dwi Artana

Selama dua hari, pada 27 dan 28 Oktober 1967, di kota Berlin para musisi jazz kebanggaan Indonesia itu melakukan sesi rekaman untuk MPS/Saba Record yang kemudian menghasilkan sebuah album berkonsep East meet West yang perwajahan sampulnya mengambil nukilan salah satu relief di Candi Borobudur. Dalam album itu beberapa instrumen musik tradisional Indonesia seperti suling bambu, kecapi dan zither dihadirkan. Indonesian All Stars banyak melakukan eksperimen dan eksplorasi saat penggarapan album monumental tersebut. Jack Lesmana misalnya, melakukan eksplorasi dengan memainkan nada rendah pada gitarnya untuk menyiasiati penggantian bunyi gong. Dan hasilnya memang cemerlang, tanpa gong nuansa etnik Bali bisa tercipta.

Jazz di Indonesia

Sejatinya musik jazz pertama kali masuk ke Indonesia pada 1930-an diperkenalkan oleh musisi-musisi Filipina yang bekerja di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mereka memainkan musik jazz dengan ritme latin, seperti boleros, rhumba, dan samba. Musik jazz semakin dikenal publik Indonesia ketika pada 1948 sekitar enam puluh musisi Belanda datang ke Indonesia untuk membentuk orkestra simfoni yang beranggotakan musisi lokal. Sejak itu grup musik jazz baru pun mulai bermunculan, seperti The Progressive Trio, Iskandar’s Sextet dan The Old Timers and Octet.

Pada 1955 muncul lagi kelompok Jazz Riders yang dibentuk oleh Bill Saragih. Pada saat bersamaan, di Surabaya, Jack Lesmana mendirikan pula grup musik jazz. Dan, di Bandung bermunculan musisi jazz seperti Eddy Karamoy, Joop Talahahu, Leo Masenggani, dan Benny Pablo.

Memasuki tahun 1980-an, musik jazz di Indonesia makin berkembang pesat dengan munculnya musisi dan penyanyi jazz seperti Benny Likumahuwa, Ireng Maulana, Luluk Purwanto, dan Elfa Secioria. Berbagai kombinasi antara musik jazz dengan genre lain pun mulai bermunculan. Fariz RM, misalnya, mampu menciptakan perpaduan musik antara pop jazz dengan latin. Pada era yang sama, Indra Lesmana, Donny Duhendra, Pra B. Dharma, Dwiki Darmawan, dan Gilang Ramadan membentuk kelompok musik bernama Krakatau, yang kemudian bertransformasi dengan mengganti beberapa personil.

Pada dekade inilah tampil musisi Bali, Dewa Budjana, yang turut memberi warna pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Ia hadir berbarengan dengan Andien, Maliq & D’essentials, Tompi, dan Syaharani. Kehadirannya memberi warna baru karena menggabungkan jazz dengan genre musik lain seperti pop, rock, fusion, dan lainnya.***

Perjalanan Musik Jazz di Bali

  • 1996 Jazz Café berdiri di Ubud diprakarsai promotor music Jed Balaskas. Acara musik jazz pun mulai sering di selenggarakan di Ubud, Sanur, Seminyak, dan Kuta.
  • 9 Desember 2000 Bali Jazz Parade digelar di Amphi Theatre Mal Bali Galeria, Menampilkan antara lain Balawan, batuan Ethnics Fusion, Dewa Budjana Trio, Flowing Rhythm dan Bertha. Acara diinisiasi oleh Bali Jazz Forum yang dimotori Arief “Ayip” Budiman
  • 14-15 April 2001 Bali Jazz Forum menggelar Bali Jazz Fiesta di Sand Island Hard Rock Hotel dengan acara utama Konser Indra Lesmana-Reborn. Tampil dalam acara itu grup jazz Bali : Three Musguitars, Kayane band, dan Jiwa Band
  • 18-20 November 2005 Bali Jazz Forum kembali menggelar Bali Jazz Festival menghadirkan 38 grup jazz dari 10 Negara
  • 2009 Ito Kurdhi (musisi), Grace Jeanie (pengusaha event organizer), Denny Surya (pengusaha radio), dan Yuri Mahatma (musisi) mendirikan Bali Jazz Cummunity (BJC ) yang memrakarsai pementasan-pementasan jazz dan membuat Bali sebagai destinasi penting musik jazz di Indonesia.
  • 2013 Yuri Mahatma dan Anom Darsana (pemilik Antida Music Productions) memrakarsai Ubud Village Jazz Festival (UVJF). Festival ini menggabungkan nada groovy dan harmoni jazz dengan suasana artistik dan suasana pedesaan tradisional Ubud yang damai.
  • 8 Maret 2014 The Bali Live International Festival diselenggarakan di Taman Bhagawan, Tanjung Benoa. Acara ini merupakan kelanjutan Java Jazz Festival 2014 di Jakarta. Tampil dalam acara tersebut antara lain Earth Wind and Fire Experience, Al McKay, Incognito, Omar, Estaire Godinez Ft Stockley Williams, Robert Turner, Tania Maria, Jim Larkin, Israel Varela, Yeppy Romero, dan musisi dalam negeri Nita Aartsen, Balawan, Rio Sidik, dan Sandy Winarta.
  • 15 September 2016 Balawan membuat kolaborasi jazz dengan musik tradisional Bali pada ajang Denpasar Festival sebagai rintisan Denpasar Jazz Festival yang akan digelar tiap tahun. Konsepnya mempertemukan gambelan/karawitan dengan instrument modern dalam kemasan jazz. Juga mempertemukan musisi nasional dan pemusik lokal. Sayangnya acara ini tidak berlanjut.
  • 14-16 Juli 2017 Indra Lesmana bersama IB Gde Sidharta Putra menghadirkan Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang merupakan puncak perayaan dari pentas serupa dengan skala kecil selama 52 kali dalam setahun. SMJF menampilkan bintang-bintang jazz terkenal seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana, Idang Rasjidi, Tohpati, Ito Kurdhi, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. ***

 

Dari Bali Merawat Spirit (Jazz) Indonesia

Foto by Dwi Artana

Sebuah rangkaian helatan musik jazz digelar di Sanur. Namanya Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF). Festival ini seperti puncak selebrasi dari rangkaian acara serupa berskala lebih kecil yang digelar sepanjang tahun. Bergandengan dengan Surya Sewana, SMFJ diharapkan jadi magnet baru festival music jazz di Indonesia. 

 

 

Agung Bawantara

Matahari belum menampakkan diri. Hanya cercah cahaya jingganya saja semburat menerobos ufuk nun jauh di seberang. Di langit, bulan pucat separuh bayang dan bintang timur masih enggan pulang.  Tapi pagi itu, Minggu, 16 Juli 2017, Indra Lesmana telah memulai aksinya di panggung pertunjukan yang berdiri anggun di bibir pantai, persis di seberang  Griya Santrian Hotel, Sanur. Ia bersama musisi Dewa Budjana (gitar), Indra Gupta (bas), Sandy Winarta (drum), Christie (sequencer) dan penabuh gamelan Bali tampil begitu khidmad menyuguhkan repertoar “Surya Sewana” yang tediri lima part yang dilengkapi liuk gemulai empat penari dan asap dupa di depan panggung.

Gelaran berdurasi 50 menit tersebut seolah ritual menyambut pagi dari Indra dan kawan-kawan  untuk memancarkan vibrasi kedamaian dan persaudaraan ke seluruh semesta melalui alunan musik dan lagu jazz. Istilah “surya sewana” sendiri sejatinya merupakan ritual menyongsong matahari yang dilakukan para Sulinggih (pendeta Hindu) di Bali setiap pagi.  Dalam ritual tersebut mereka merapal doa-doa kedamaian dan keselamatan bagi semesta raya.

Di seberang panggung tampak ratusan penonton dari berbagai bangsa menyaksikan pentas pagi itu dengan penuh antusiasme.  Mereka tampak larut dalam suasana damai dan teduh namun tetap memancarkan harapan itu.

Itulah sekelumit suasana hari ketiga Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang digelar pada 14-16 Juli 2017 lalu.

Foto by Dwi Artana

Foto by Dwi Artana

 

 

Foto by Dwi Artana

 

SMJF ini digagas oleh musisi jazz Indra Lesmana dan Ketua Umum SVF Ida Bagus Gde Sidharta Putra (Gusde) sebagai sebuah festival musik jazz yang tak hanya merayakan musik jazz semata, tetapi sebagai peristiwa kebudayaan yang menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan pelestarian lingkungan.

Secara keseluruhan, sejak hari pertama hingga hari terakhir, SMJF memang  terasa sebagai sebuah helatan musik jazz yang istimewa. Selama tiga hari panggung festival ini ditaburi bintang-bintang musik jazz sohor seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana Zentuary, Idang Rasjidi, Nesia Ard,  Sandy Winarta Trio, Tohpati, Ito Kurdhi Chemistry, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. Para bintang musik jazz itu tak semata menyuguhkan permainan terbaiknya kepada penonton, tetapi membangun nuansa perdamaian dan persaudaraan.

“Melalui festival ini kami berupaya menjadikan musik jazz sebagai media penyampai pesan kebudayaan, kemanusiaan, dan lingkungan. Jadi lebih dari sekadar festival musik,” ujar Gusde yang di amini Indra di sela acara.

Hal itulah yang membuat penonton dan para musisi yang terlibat terkesan. Musisi Idang Rasjidi, misalnya,  memuji festival perdana ini sebagai festival istimewa yang menghadirkan pertunjukan unggul yang menempatkan potensi setempat di barisan depan. Terlebih di sela acara diadakan aksi lingkungan seperti pelepasan tukik dan bersih-bersih pantai.

“Interaksi seperti itu membuat musisi dan penonton merasa terlibat dalam peristiwa budaya yang dikemas dalam suatu festival jazz,” papar Idang.

Pada festival ini penonton dipungut tiket Rp300ribu per hari atau Rp500 ribu untuk terusan selama dua hari. Harga itu sudah termasuk

 

hidangan santap malam. Sedangkan pertunjukan Surya Sewana pada  hari terakhir, tidak dipungut bayaran. SMJF ini merupakan selebrasi Mostly Jazz yang telah diselenggarakan sebanyak 52 kali sekaligus mengawali kegiatan Sanur Village Festival (SVF) yang dihelat 9-13 Agustus 2017.

Sanur yang “Jazzy”

Tentang suasana Sanur yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan festival ini, musisi Dewa Budjana mengatakan bahwa kawasan Pantai Sanur yang tenang dan damai sangat pas untuk penyelenggaraan festival jazz. Apalagi karakter wisatawan asing di kawasan ini cenderung menyukai musik berkelas yang tidak ingar-bingar.

“Saya berharap festival ini berlanjut sebagai semacam monumen untuk menjaga spirit musik jazz Indonesia yang dipelopori oleh Jack dan Nien Lesmana, orang tua Indra,” harap Bujana.

Indra sendiri mengaku sejak hijrah ke Bali akhir 2014 ingin menyurahkan perhatian khusus bagi perkembangan jazz melalui edukasi dan regenerasi. Bersama istrinya, Hon Lesmana, dan Gusde ia lantas mendirikan Sanggar Musik Indra Lesmana di Jalan Waribang Denpasar dan menggelar konser Mostly Jazz setiap dua pekan sekali di pinggir pantai Griya Santrian Resort, yang sekaligus menjadi titik temu komunitas jazz.

“Melalui sanggar, Mostly Jazz, dan festival ini saya meyediakan ajang pembelajaran bagi talenta muda dan mempersiapkannya masuk dalam belantika jazz sesungguhnya,” ucap Indra sembari berharap  SMJF dan “Surya Sewana” bisa menjadi magnet baru di antara puluhan festival jazz yang secara reguler telah digelar di Nusantara.

“Pertunjukan musik  jazz menjelang sunrise sangat pas bagi Sanur yang dijuluki the morning of the world,” tegasnya.**

 

 

KPK Gelar Festival Anti Korupsi di Denpasar

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan beberapa komunitas akan melaksanakan puncak Festival Anti Korupsi di Kota Denpasar. Festival itu akan berlangsung di Lapangan Taman Kota Lumintang pada 9 Desember 2017.

Menurut Spesialis Madya Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK  Indraza Marzuki, Festival Anti Korupsi yang digelar pertama kali di Bali ini bertujuan untuk meminimalisir jumlah korupsi di Indonesia.

“Melalui berbagai kegiatan kreatif dan seni kita gemakan pesan anti korupsi guna membangun budaya jujur dan bersih dalam segala hal pada masyarakat Indonesia,” ujar Indraza.

Usai beraudensi dengan Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra, Senin (13/11), Indraza Marzuki mengatakan festival ini sengaja melibatkan semua komunitas di Bali, agar menggelorakan anti korupsi kepada seluruh komponen masyarakat. ”Kegiatan festival ini akan menampilkan fotografi, teater, puisi, mural, komik, poster, video art, jingle radio, majalah dinding, karya jurnalistik, cerdas cemat dan sebagainya,” terangnya.

Ketua Panitia I Nyoman Mardika mengatakan, kegiatan ini mengandeng beberapa komunitas. Masing-masing komunitas telah membuat kegiatan yang akan ditampilkan pada puncak acara,” ujarnya.

Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan, kegiatan ini untuk meminimalisir dan mengatasi anti korupsi. Kegiatan ini juga dipublikasikan melalui Pro Denpasar, sehingga masyarakat mengetahuinya dan bisa hadir menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan dalam Festival Anti Korupsi tersebut.

“Untuk memperlancar kegiatan ini, kami di Pemerintah Kota Denpasar siap membantu memfasilitasi,” ujar Rai Mantra.

Sebanyak 16 komunitas di Pulau Dewata berkolaborasi dengan KPK menggemakan gerakan antikorupsi ini. Komunitas-komunitas tersebut adalah Kompilasi Musik Antikorupsi, Jatijagat Kampung Puisi Bali, Komunitas Teater Bali, Komunitas Pojok, Komunitas Djamur, Platiscology Community, Komunitas Ruang Asah Tukad Abu, Lingkara Photography Community, AJI Denpasar, Bintang Gana, Luden House, Komunitas Seni Lawan Korupsi, Rumah Sanur Creative Hub, Komunitas SAMAS Bali, Manikaya Kauci, dan Komunitas Hutan Film Festival.

Puncak Festival Antikorupsi dilaksanakan 9 Desember 2017. Namun sebelum itu serangkaian kegiatan telah dilaksanakan oleh masing-masing komunitas yakni fotografi, teater, puisi, mural, komik, poster, video art, jingle radio, majalah dinding, dan esai.

Koordinator Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Muryono Prakoso mengatakan partisipasi publik merupakan salah satu kunci untuk menangkal korupsi. Dengan melibatkan publik dalam kegiatan kampanye antikorupsi ini, nantinya masyarakat dapat turut aktif melakukan kontrol. Melihat di Bali terdapat banyak komunitas  dengan beragam aktivitas dan kreativitas serta mengakar, maka dirasa cukup strategis menyampaikan pesan antikorupsi kepada masyarakat melalui komunitas-komunitas tersebut melalui kegiatan-kegiatan sederhana.

“Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, tidak semata dengan kegiatan yang besar-besar, karena kalau publik hanya adem-ayem, tentunya tidak merasa punya peran dalam kegiatan penyelamatan negeri dari bahaya korupsi,” tandas Muryono.