Denpasar Film Festival 2018

Saat ini ada semacam stereotype dalam pembuatan film dokumenter di Tanah Air. Sebagian besar para pembuat film dokumenter melakukan pendekatan reportase, dimana pesan ditonjolkan dengan narasi. Pada kebanyakan karya-karya dokumenter pesan biasanya membebani karya. Karya semata-mata dipahami sebagai medium untuk menyampaikan pesan, berakibat medium kehilangan kemungkinan-kemungkinan untuk mengungkapkan dirinya sendiri yang kadang berkonsekuensi tak terduga. Demikian dikatakan oleh Bre Redana ketika mewakili Dewan Juri Lomba Film Dokumenter Denpasar Film Festival (DFF) 2018 pada Malam Penganugerahan yang digelar di Youth Park Taman Kota, Lumnintang, Minggu (23/9/2018). Hal itu, menurut Bre, membuat kejumudan dalam menonton film dokumenter karena cara penuturannya berpusar dari itu ke itu. Kerana itu, Dewan Juri merasa mendapat kejutan luar biasa ketika dalam lomba film dokumenter yang diselenggarakan oleh DFF muncul karya-karya yang berani menawarkan cara bertutur yang berbeda dengan kelaziman di Indonesia. Itu pula yang menjadi alasan bagi Dewan Juri untuk memilih Film dokumenter “Etanan” karya Sutradara Riandhani Yudha Pamungkas (Jember) sebagai Film Terbaik Denpasar Festival (DFF) 2018 untuk kategori umum.

Menurut Bre, Dewan Juri yang terdiri dari Rio Helmi, Panji Wibowo, I Wayan Juniartha, Prof. I Made Bandem, Tonny Trimarsanto, dan Bre sendiri, Etanan unggul kerena gaya berceritanya berbeda dengan yang selama ini umum digunakan oleh para pembuat film dokumenter di Indonesia. Dia dibangun dengan konstruksi dramatik yang baik berdasar bahasa teknis mediumnya (film).

“Etanan memperkuat barisan film yang merubuhkan anggapan banyak orang bahwa film dokumenter tidak mungkin disajikan dengan konstruksi dramatik sebagaimana yang disajikan film fiksi,” ujar Bre Redana selaku Ketua Dewan Juri.

Film ini menyisihkan empat film unggulan lainnya yakni Children On The Street (Yogyakarta), Kerjakarta (Jakarta), Rita (Singaraja), dan Ojek Lusi (Tangerang). Atas keberhasilannya tersebut Etanan berhak atas Tropi Cili DFF dan uang tunai sebesar Rp20juta. Hadiah diserahkan kepeda pemenang oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar I Gusti Ngurah Bagus Mataram pada acara Malam Penganugerahan DFF 2018 di Youth Park Taman Kota, Lumintang, Minggu (23/9/2018).

 

Selain Etanan, Dewan Juri juga memberi apresiasi khusus untuk film “Children on The Street” karya Sutradara Fuad Hilmi Hirnanda (Yogyakarta) karena kemampuan filmmakernya untuk memperoleh akses begitu dekat dengan subyeknya.

Pada Kategori Pelajar film “Penempa Bara” karya Sutradara AAI Sari Ning Gayatri (SMAN 3 Denpasar) tampil sebagai film terbaik, disusul Bebancihan karya I Komang Andika Pratama (SMAN 5 Denpasar) sebagai juara 2 dan Kampung Gemplong karya Sutradara Bayu Ragil Saputra (SMKN 1 Karanggayam, Kebumen) sebagai juara 3.

Secara keseluruhan, Dewan Juri mencatat bahwa pada DFF tahun ini terjadi adanya perkembangan yang signifikan dibanding sebelumnya. Menurut mereka, setelah melihat film-film unggulan DFF 2018 ini mereka berkesimpulan bahwa terjadi perkembangan luar biasa dalam DFF 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baik pada unggulan kategori pelajar maupun (terutama) umum, mereka melihat adanya penambahan ketrampilan teknis yang signifikan. Ketrampilan teknis yang dimaksud adalah ketrampilan dalam bidang visualisasi, suara, observasi, dan riset, dimana di balik semua itu juga terlihat adanya dedikasi.

Konsistensi penyelenggaraan festival dalam beberapa hal telah menghasilkan corak tersendiri pada film-film yang ambil bagian dalam DFF. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan festival sejenis di beberapa daerah di Indonesia, niscaya akan melihat bagaimana adanya corak khusus pada film-film yang disertakan dalam DFF dibanding dengan festival-festival lain di berbagai daerah.

“Terutama pada kategori pelajar, kekhususan tadi menjadikan DFF memiliki karakter sebagai semacam “festival pembinaan” dan langkah awal menuju festival film lainnya. Festival ini cukup berhasil meningkatkan kualitas teknis pembuatan film dokumenter di kalangan pelajar, dan membangkitkan antusiasme terhadap tema-tema khusus, terutama tema seni budaya,” papar Bre.

Di bagian lain, Bre juga mengatakan bahwa dewan juri merekomendasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tanggungjawab terhadap dunia sinema di Indonesia terutama pemerintah, melakukan langkah tepat untuk mendorong perkembangannya. Misalnya dengan memikirkan keikutsertaan karya-karya ini pada festival internasional, serta membikin semacam creative hub untuk meningkatkan interaksi kalangan film dan masyarakat, dimana dari situ diharapkan kreativitas makin berkembang.

Direktur DFF, Agung Bawantara, membenarkan pernyataan Dewan Juri dan Kurator tersebut. Menurutnya DFF 2018 memang mengalami lonjakan yang signifikan dari segi kualitas maupun kuantitas karya peserta.

“Ada 107 film yang dikirimkan peserta dari berbagai kota di Indonesia, sebagian besar berkualitas bagus,” ujarnya.

 

Agung memaparkan, selain lomba film dokumenter, pada DFF 2018 juga diselenggarakan beberapa program yang kait-berkait antara lain kemah pelatihan dan pendampingan produksi film dokumenter, lomba dan pameran foto esai, pemutaran dan diskusi film dokumenter, serta lomba resensi film sebagai langkah literasi.

Sementara itu, Walikota Denpasar dalam pidatonya yang dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar berpesan agar DFF melebarkan lagi langkahnya dengan mengembangkan semangat kewirausahaan pada para pegiat film dokumenter. Jadi para peserta pelatihan film tidak melulu dibekali dengan teori dan praktek produksi film melainkan juga ilmu kewirausahaan. DFF sendiri pun harus mulai bergerak untuk mampu memunculkan potensi-potensi ekonomi dari aktivitas perfilmannya.

Walikota menyadari bahwa genre dokumenter adalah sesuatu yang penting untuk pembentukan karakter bangsa namun saat ini masih relatif sulit untuk dijadikan wahana mencari uang. Tapi, menurut Walikota, dengan kreativitas dan upaya-upaya kolaboratif hambatan untuk menjadikannya sebagai titik perputaran ekonomi pasti bisa dilaksanakan. Misalnya berkolaborasi dengan komunitas pemerhati sungai, komunitas pemerhati permainan tradisional, komunitas pemerhati tradisi, dan lain-lain. Dari kolaborasi positif tersebut niscaya akan lahir program-program cemerlang untuk menjadikan aktivitas yang sekian lama dijalankan secara konsisten memiliki nilai ekonomi.

“Dengan demikian, selain turut membantu membangun karakter bangsa, aktivitas sosial yang dijalankan oleh Denpasar Film Festival dapat menciptakan kebermanfaatan ekonomis bagi masyarakat,” tegas Walikota. **

 

 

 

 

 

 

3RD MINIKINO FILM WEEK

MINIKINO FILM WEEK ke-3, Bali 7-14 Oktober 2017 adalah edisi ke-3 Festival Film Pendek Internasional tahunan di Bali, Indonesia, yang didirikan & diselenggarakan oleh Minikino (minikino.org). Menyajikan program film pendek dari Indonesia, program pertukaran film pendek “S-Express” Asia Tenggara, dan Program Shorts Internasional dan program tambahan sebagai acara pelengkap, lokakarya dan program yang berfokus pada tema festival ini.

MINIKINO FILM WEEK dirancang sebagai festival bagi para pembuat film dan khalayak, yang bertujuan untuk membangun dan memperkuat jaringan pemutaran alternatif di Bali, menyediakan ruang untuk karya film pendek kepada khalayak mereka, yang mungkin sulit didapat di tempat lain. Di sisi lain, memberi penonton kesempatan untuk melihat dan mendiskusikan tentang film yang mungkin tidak pernah mereka lihat.

Minikino percaya bahwa sebuah film pendek, seperti sebuah puisi atau cerpen, adalah karya mandiri dengan manfaat kesusasteraannya sendiri. Pilihan film pendek yang diprogram dengan baik adalah stimulan kuat untuk diskusi, yang pada gilirannya akan mempromosikan kesadaran sosial dan pemikiran kritis.

Nikmati MINGGU FILIK MINIKINO ke-3, Bali 7 sampai 14 Oktober 2017, semoga ini akan menginspirasi kita semua.

Penghargaan & Hadiah

  1. SHORTLIST Laurel untuk pembuat film yang dipilih dalam status “Shortlist”.
  2. PEMILIHAN RESMI Laurel & Certificate (dicetak secara digital pada pdf) untuk semua pembuat film dengan film yang dipilih secara resmi dari Minikino Film Week.
  3. Pengakuan Premier Internasional 2017 – Laurel & Certificate;

Hanya film yang memenuhi persyaratan berikut yang dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan status World Premiere Recognition:

– Pengakuan ini hanya untuk Film Pendek Indonesia;

– Hanya film yang telah dirilis pada tahun ini di Festival (2017);

– Hanya film yang belum pernah dirilis di manapun selain negara asalnya;

– Hanya Film yang belum dipresentasikan pada acara penyaringan Internasional lainnya baik live maupun online (dipamerkan di Internet, secara publik) sebelum tanggal akhir Festival MFW ke-3 (14 Oktober 2017)

Penghargaan akan diberikan dalam kategori berikut:

  • Penghargaan Film Pendek Minikino Terbaik Tahun 2017
  • Pilihan Pemirsa MFW2017 Award
  • Pilihan Programmer MFW2017 Award
  • Penghargaan MFW2017 Terbaik untuk Anak-anak
  • Penghargaan FWN Terbaik Fiksi Pendek
  • Penghargaan Dokumenter Terbaik MFW2017
  • Animasi Terbaik MFW2017 Award
  • Penghargaan MFW2017 Terbaik Audio Visual Eksperimental

 

Film Aceh Jawara Denpasar Film Festival 2017

FILM Dokumenter “1880 MDPL” karya sutradara Riyan Sigit Wiranto dan Miko Saleh (Aceh) keluar sebagai Film Terbaik Denpasar Film Festival (DFF) 2017. Puncak pelaksanaan Denpasar Film Festival berakhir Minggu malam (10/9/2017) yang ditandai dengan penyerahan penghargaan kepada jawara film dokumenter “1880 MDPL” oleh Wakil Walikota I GN Jaya Negara di Istana Taman Jepun Denpasar. Hadir pula dalam kesempatan tersebut para penggiat film, dan Slamet Rahardjo Djarot selaku Ketua Dewan Juri.

Pelaksanaan Denpasar Film Festival menjadi agenda rutin Pemkot Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama dengan insan kreatif penggiat film di Kota Denpasar. Memasuki tahun kedelapan pelaksanaan Denpasar Film Festival mendapat apresiasi dari Wakil Walikota I GN Jaya Negara dengan peningkatan hasil karya dari peserta setiap tahunnya.

Menurut Jaya Negara film sebagai 16 sektor ekonomi kreatif yang capaiannya semakin positif karena banyak film Indonesia meraih lebih dri 1 juta penonton. Kenyataan ini film menjadi primadona ekonomi kreatif indonesia dalam menggerakan roda perekonomian masyarakat. Dimasa depan subsektor film menjadi sektor penting dalam kuliner, fashion dan kerajinan. Pemerintah pusat juga menempatkan ini sebagai sub sektor penting dalam pengembangan ekonomi kreatif yang tak terlepas dari empat pilar yang harus bergerak yakni akademika, dunia usaha, komunitas dan pemerintah.

Penyelenggaraan Denpasar Film Festival mula-mula datang dari komunitas pecinta film kemudian mendapatkan dukungan baik dari pemerintah dan kalangan dunia usaha yang melibatkan intelektual dan akademisi guna mendapatkan masukan ilmiah. Geliat ekonomi kreatif adalah tumbuh dan berkembangnya kreatifitas ekonomi kreatif.

Hal ini tak mungkin dilakukan pemerintah sendiri sehingga Pemkot Denpasar terus mendorong dan berupaya mendampingi dan tumbuh kuat menjadi tonggak eknomi kreatif di Denpaaar. Semoga langkah ini akan menjadi langkah awal dalam mengembangkan subsektor ini di Kota Denpasar dan dapat turut mensejahterakan masyarakat Denpasar.

Menurut Slamet Rahardjo Djarot, Film“1880 MDPL” mampu menyisihkan empat unggulan lainnya berkisah tentang kehidupan Petani Kopi di sebuah dataran tinggi di Aceh, tepatnya di Desa Merah Jernang Kecamatan Atu Lintang Kabupaten Aceh Tengah. Desa ini juga termasuk daerah Transmigrasi yang dibuka pada tahun 1997. Masyarakat petani kopi setempat sudah berupaya keras memanfaatkan lahan yang ada untuk bertanam kopi, namun hasilnya tidak pernah memuaskan karena tanah di ketinggian 1880 meter di atas perlukaan laut (MDPL) itu tidak begitu subur, nyaris untuk tanaman apa pun. Karena itu mereka harus mencari sampingan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, bahkan terpaksa membuka lahan baru di hutan. “Film ini merupakan potret jernih tentang situasi kehidupan masyarakat di mana setiap pesan disampaikan melalui rangkaian gambar yang rapi dan efektif,” ujar Slamet Rahardjo Djarot.

Selain “1880 MDPL”, juri memberi apresiasi cukup tinggi untuk film “Anak Koin” (Chrisila Wentiasri, Bandar Lampung) dan menganugerahinya Penghargaan Khusus. “Anak Koin” menarik perhatian juri karena kemampuannya menuturkan kisah tentang anak jalanan secara cukup dekat dan apa adanya. Dari film itu tergambar bukan hanya sisi buruk si tokoh, melainkan sisi baiknya pula. Film unggulan lainnya, “Perahu Sandeq” (Gunawan Hadi Sucipto, Jogja).

Disamping itu pertimbangan ketat, Dewan Juri menetapkan tiga film terbaik Juara 1 “Urut Sewu” (Dewi Nur Aeni, Karanggayam, Kebumen, Jawa Tengah) Juara 2 “ROB” (Fatimatuz Zahra, Pekalongan, Jawa Tengah), Juara 3 “Penambang Pasir Citanduy” (Dwi Novita Sari, Pelajar, Majelang ). (pur/humas-dps/bpn)

“Air, Perempuan, dan Anak-anak” Tema DFF ke-8

Memasuki tahun kedelapan, Denpasar Film Festival (DFF) hadir dengan tema “Air, Perempuan, dan Anak-anak”. Ini adalah bentuk kepedulian dari festival ini terhadap ancaman krisis air di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Bali, yang jika tidak ada langkah mitigasi akan menjadi nyata dan sulit untuk ditangani.

“Dan, kami melihat, di saat krisis air terjadi yang mula-mula paling menderita adalah para perempuan dan anak-anak. Itulah sebabnya kamu mengangkatnya sebagai tema pada tahun ini,” papar Dodek Febriyantow Sukahet, Manager Program DFF 2017.

Menurut Dodek, seperti tahun-tahun sebelumnya, program-program dalam festival film besutan Yayasan Bali Gumanti yang didukung Dinas Kebudayaan Kota Denpasar tersebut menyakup pelatihan, pemutaran film, pendampingan produksi, pameran, diskusi, dan lomba.  

“Konsisten dengan penyelenggaraan sebelumnya, inti dari program-program DFF adalah edukasi, apresiasi, dan kompetisi. Dan setiap tahun seluruh mata acara ditingkatkan kualitasnya baik dalam penyelenggaraan maupun kontennya,” papar Dodek.

Tahun ini, rangkaian program tersebut diawali dengan Kemah Pelatihan Produksi Film Dokumenter yang diselenggarakan pada16-18 Maret dengan instruktur utama Panji Wibowo. Panji Wibowo adalah sutradara film dokumenter yang juga dosen di Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Panji telah menerbitkan modul pelatihan produksi film yang terhitung sangat minim di Indonesia. Adapun pelatihan diselenggarakan di tepian Danau Buyan, Tabanan. Paparan Panji akan diperkuat oleh instruktur lain yang merupakan praktisi-praktisi yang mumpuni seperti Rio Helmi, I Wayan Juniartha, Anton Muhajir, Totok Parwatha.

Peserta pelatihan adalah para pelajar SMP dan SMA di Kota Denpasar yang dipilih melalui seleksi. Keduanya mendapat jatah masing-masing lima kelompok. Jadi akan ada lima kelompok untuk SMP dan lima kelompok untuk SMA sehingga total peserta maskimal hanya 20-30 orang saja.  

Dalam perkemahan, selain teori peserta juga dituntun untuk melakukan praktek lapangan tahap demi tahap. Pada akhir pelatihan semua kelompok peserta diwajibkan menyerahkan karya dokumenter berdurasi dua hingga empat menit yang mereka buat selama pelatihan. Di sela-sela kegiatan, setiap waktu senggang diisi pemutaran film dan diskusi. Juga ada materi pengayaan yang diberikan oleh para aktivis seperti Olin Monteiro (Aktivis Perempuan, Jakarta), Iwan Dewantama (Aktivis Lingkungan, Denpasar).

“Dengan demikian pengetahuan yang mereka dapat lebih menyeluruh. Tidak hanya soal teknis dan artistik, tetapi juga wawasan lain berkait dengan kehidupan dan lingkungan,” imbuh Dodek.

Seusai pelatihan, para peserta diwajibkan untuk membuat produksi film dokumenter tentang Kota Denpasar sebagaimana yang mereka ajukan pada saat seleksi awal. Untuk produksi tersebut masing-masing kelompok mendapat dana stimulant dalam jumlah tertentu. Dengan demikian, dari para peserta tersebut akan lahir sepuluh film dokumenter tentang kekayaan pusaka budaya di Kota Denpasar.

Program lain adalah Lomba Film Dokumenter, Lomba Resensi Film Dokumenter, Putar dan Diskusi Film Unggulan, Pameran Foto “Project 88”, dan Malam Penganugerahan. Lomba Film Dokumenter diselenggarakan antara 1 Maret-30 Juni 2017 melibatkan para pembuat film dokumenter di seluruh Tanah Air. Lomba Resensi Film Dokumenter diselenggarakan pada kurun 1 Maret- 31 Juli 2017 melibatkan para publik umum di seluruh Bali. Lomba

Adapun program pemutaran, diskusi, dan pameran foto esai berlangsung pada pertengahan bulan Agustus 2016. Di mana seluruh rangkaian acara itu ditutup dengan acara puncak yakni “Malam Penganugerahan” yang akan digelar pada 21 September 2017.

Hadiah Total 75 Juta

Hadiah total seluruh lomba dalam DFF tak kurang dari Rp75 juta. Pada Lomba Film Dokumenter terdapat dua kategori utama yakni umum dan pelajar. Keduanya menyakup peserta di seluruh Indonesia. Peserta kedua kategori dapat mengirimkan karya dokumenter dengan tema bebas. Untuk kategori umum durasi karya antara 20 menit hingga 40 menit. Sedangkan untuk pelajar durasi karya berkisar antara lima hingga sepuluh menit. 

Setiap karya yang masuk diseleksi melalui dua tahap. Pertama, karya diseleksi oleh Dewan Kurator yang terdiri dari tiga pekerja film dokumenter kredibel. Mereka memilih masing-masing lima karya unggulan di setiap kategori. Selanjutnya, pada tahap kedua, karya-karya yang lolos seleksi Dewan Kurator tersebut diseleksi kembali oleh Dewan Juri untuk menentukan lima karya terbaik. Satu di antara lima film unggulan kategori umum dinobatkan sebagai Film Terbaik yang berhak menggondol trofi DFF dan uang tunai sebesar Rp20 juta. Empat unggulan yang tersisih tetap mendapat hadiah uang tunai masing-masing sebesar Rp3,5 juta.

Pada kategori pelajar dipilih tiga juara yang secara berturut-turut mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp7,5 juta, Rp5juta, dan Rp3,5 juta.

Selain dua kategori di atas, terdapat pula kategori yang diperuntukkan khusus bagi pelajar di SMP-SMA di Kota Denpasar, yakni Video Promosi Denpasar sebagai Kota Pusaka.

Project 88

Untuk pameran foto esai, melanjutkan yang telah dirintis dua tahun sebelumnya. Karya yang dipamerkan adalah foto esai dengan delapan gambar dilengkapi narasi sepanjang delapan alenia. Karya yang ditampilkan pada pameran Project 88 adalah karya peserta Kemah Pelatihan yang dalam proses berkaryanya dimentori oleh fotografer profesional Totok Parwatha, Wisnu Wirawan, dan Dechi Ruditha.

Lomba Resensi Film Dokumenter

Diselenggarakan bagi para jurnalis, pecinta film, blogger, dan masyarakat umum di Bali. Karya merupakan resensi terhadap film dokumenter yang disiapkan panitia dan telah dimuat di media umum atau media online yang telah beroperasi secara ajeg selama tiga tahun. Karya akan dinilai oleh dewan juri yang dikepalai oleh Bre Redana, wartawan senior Harian Kompas.

Mengomentari semua program yang diselenggarakan DFF ini, Plt Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Dra Ni Nyoman Sujanti, MM mengatakan, selaku lembaga pengemban amanat memberdayakan dan membangun partisipasi masyarakat di bidang seni-budaya, pihaknya selalu mendukung prakarsa kreatif yang tumbuh dari seniman dan pegiat perfilman di Kota Denpasar. Menurutnya, sebagai birokrat kesenian, pihaknya bertugas untuk memfasilitasi semua kreativitas tersebut.

“Semakin banyak prakarsa dari masyarakat seni atau pegiat kegiatan kreatif, semakin ringan tugas kami dalam menjalankan amanat yang diletakkan di pindak kami,” paparnya.

Oleh karenanya pihaknya berusaha keras untuk terus menjaga sinergi yang baik antara para seniman dan birokrat di bidang kesenian di Kota Denpasar.

Isu-isu Penting pada DFF 2017

  • Mengawal semangat kebersamaan dalam keragaman.
  • Mengawal semangat melindungi Bali dari krisis air.
  • Menguatkan komunitas film di Bali (daerah) dengan membangun jaringan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
  • Membangun perfilman Nasional melalui upaya apresiasi dan edukasi
  • Memaksimalkan sumber daya di daerah untuk membangun semangat persebaran aktivitas produksi film di Tanah Air guna memunculkan karifan lokal di masing-masing daerah.
  • Merupakan bagian dari gerakan Ekonomi Kreatif Kota Denpasar yang menjadikan kreativitas sebagai “komoditi” utamanya sehingga mengurangi tabiat mengeksplorasi alam sebagai ladang pendapatan.

Dewan Kurator DFF

  • Putu Kusuma Wijaya (Buleleng, Sutradara, Alumni Dutch Film School, Amsterdam)
  • Tonny Trimarsanto (Klaten, Sutradara, Peraih Lima Penghargaan Internasional di Bidang Dokumenter)
  • Gerzon Ron Ayawaila (Jakarta, Dosen IKJ, Alumni Universiteit van Amsterdam)

 

Dewan Juri DFF

  • Slamet Rahardjo Djarot (Jakarta, Sutradara)
  • Lawrence Blair (Amerika Serikat, Antropolog)
  • Rio Helmi (Ubud, Fotografer)
  • I Made Bandem (Denpasar, Etnomusikolog)
  • I Wayan Juniartha (Denpasar, Jurnalis)
  • Bre Redana (Jakarta, Jurnalis)