Navicula, band grunge rock asal Bali ini, kembali merilis single terbaru berjudul “Ibu”

PRESS RELEASE 

Navicula Rilis Lagu Ibu Sebagai Penghormatan untuk Bumi 

Oleh: Navicula Management, 31 Mei 2018

Navicula, band grunge rock asal Bali ini, kembali merilis singel terbaru berjudul “Ibu” pada Jumat, 1 Juni 2018, di Hard Rock Café Bali.

Lagu “Ibu” ini merupakan salah satu lagu dari sederet lagu baru yang rencananya akan dijadikan satu album baru utuh, yang akan dirilis pada tahun ini. Album baru, yang rencananya akan berjudul “Earthship” ini, nantinya akan menjadi album ke-9 dari band Navicula.

Lagu Ibu bercerita tentang janji seorang manusia kepada alam, bumi, tempat dia tinggal, bahwa dia akan lebih peduli dan meluangkan waktu serta tenaga untuk menjaga, mencintai, dan melestarikannya.

“Kata Ibu (Ibu Pertiwi) bermakna Bumi, dan lagu ini adalah persembahan dan penghormatan kami kepada Bumi serta isinya,” jelas Gede Robi, frontman Navicula.

Bertepatan dengan hari kelahiran Pancasila, single ini dirilis berbarengan dengan peluncuran video klip-nya. Video Klip “Ibu” disutradarai oleh director muda, Ayu Pamungkas, yang bekerjasama dengan Komunitas Silur Barong, sebuah komunitas video maker yang bermarkas di Ubud, yang sebelumnya sempat membuat beberapa film pendek dan video iklan komersial.

Penggarapan rekaman lagu Ibu telah dimulai tahun lalu, sekitar bulan Oktober, direkam di studio rumah Navicula di Ubud, dan dimixing-mastering oleh Deny Surya.

Sementara video klipnya digarap awal April tahun ini. Mengambil lokasi syuting di Bali dan beberapa di perairan Papua, saat Robi, vokalis Navicula, turut berlayar bersama kapal legendaris Greenpeace, Rainbow Warrior, di kepulauan Raja Ampat.  Sementara beberapa gambar lain adalah footage-footage kerusakan alam yang merupakan koleksi dari Greenpeace yang diberikan kepada Navicula khusus untuk pembuatan video klip ini.

Navicula juga menggaet biduan jelita asal California, Leanna Rachel, sebagai model di video klip ini.

Lagu Ibu ini masih kental rasa Navicula-nya, yang sejak berdiri 1996 silam, tetap konsisten menyuarakan isu sosial dan lingkungan hingga saat ini.  Musik pada lagu Ibu bernuansa riff-riff berat khas Grunge atau Seattle-sound, aliran rock alternative yang awalnya booming di era 90-an, sementara bagian reff-nya tetap pop, catchy, sekaligus anthemic, sehingga masih tetap asyik untuk ber- sing-a-long; sebuah format musik yang sudah menjadi ciri khas Navicula. Sementara soal pesan, bisa didengar dan dirasakan dengan jelas pada lirik-nya:

“… Kini aku berikrar, ku kan selalu menjagamu…Ku basuh kakimu… Karena ku tahu di sana ada surga …Tak akan ada Ibu Bumi kedua, bila Ibu Bumi telah tiada… Ku jaga dia, ku jaga selamanya, karena ku tahu dia pun jaga kita.”

Teaser Clip Ibu Bisa ditonton di sini: https://youtu.be/34Vd01ayjcI  

Syuting Klip Terbaru SID – BATAS CAHAYA

Syuting Video Klip “Batas Cahaya” SID Libatkan Beragam Komunitas Band Superman Is Dead (SID) bakal segera merampungkan album kesembilannya. Rencananya sekitar 10 lagu akan dirangkum dalam album teranyar tersebut. Namun sebelum itu, mereka membuat ‘pemanasan’ terlebih dahulu dengan meluncurkan satu single anyar yang berjudul ‘Batas Cahaya’. Proses syuting pun kini tengah dirampungkan SID kali ini mengambil lokasi syuting di Taman Baca Kesiman Denpasar, Selasa (20/3) sore dengan melibatkan puluhan orang dari berbagai komunitas. Sebab, beberapa bagian dari lagu tersebut membutuhkan suara massal.

“Single Batas Cahaya ini prosesnya sudah mastering, tinggal rilis saja. Untuk proses video klip, kami perlu beberapa scene yang ramai-ramai. Sehingga hari ini (kemarin, red) kami kumpul dan mengundang kawan-kawan lewat sosial media,” ungkap Eka Rock, bassis SID, ditemui di lokasi syuting kemarin sore. Scene ramai-ramai, kata Eka, menjadi konsep klip yang sesuai dengan tema lagu, yakni mengajak semangat, satu visi, satu frekuensi, dalam melaku kan suatu perjuangan. “Intinya mengajak untuk tetap semangat dan konsisten dalam perjuangan Perjuangan paling krusial tidak hanya di Bali, tapi kita bikin masih ada hal-hal krusial yang universal. Sebab di luar sana juga diperjuangkan,” kata musisi asal Jembrana ini. Pencipta lagu sekaligus drummer SID, Jerinx, menambahkan, tema yang diangkat memang agak rumit. Jika ditelisik, lagu Batas Cahaya ini adalah tentang per juangan, dan pertanyaan tentang apa peran kita sebagai manusia. Lirik lagu diakui memang sedikit rumit, berlapis, dan memakai gaya sosok sastrawi. Namun untuk video klipnya dibuat tidak berat dan mampu diterima oleh para masyarakat. “Sebenarnya cahaya adalah bagian dari semesta.

Batas Cahaya yang dimaksud adalah bahwa cahaya itu tidak ada batasnya. Jika ditelisik, lagu ini tentang perjuangan, dan per tanyaan sosial tentang apa peran kita sebagai manusia. Apakah bertopeng atau melepas topeng Perjuangan yang selaras dengan alam, seperti cahaya yang tanpa batas,”kata musisi yang tubuhnya dihiasi tatto ini. Sementara sang sutradara video klip, Erick Est mengatakan, setelah proses syuting di Ta man Baca Kesiman, selanjutnya pengambilan gambar dilakukan di Twice Bar, Kuta. “Pertama sudah diambil waktu ke Jerman sekarang di Taman Baca Kesiman kemudian di Twice Bar. Target deadline, akhir April rampung Ini terakhir kalinya SID bersama Sony Music,”; imbuhnya Alasan mengambil lokasi di Taman Baca Kesiman, menu rut Erick, karena memiliki satu frekuensi yang sama dengan SID teman seperjuangan, dan memiliki energi bagus di tempat tersebut. “Secara spontan saja memilih TBK (Taman Baca Kesiman, red) Dengan mengajak kawan-kawan yang solid untuk ikut meram ungkan klip ini. Kawan dari erbagai komunitas, tinggal bagaimana cara menyatukan itu tandasnya. ***

Sumber: Nusa Bali, Rabu, 21 Maret 2018

Perayaan Clothing Bernama PICA Fest

Paradise Island Clothing Association (PICA) Fest diklaim sebagai festival clothing terbesar di Bali bahkan Indonesia Timur. Semangat muda yang terpancar dalam penyelenggaraannya membuat festival ini sangat dinanti-nantikan.

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Foto : Dok Panitia PICA Fest

Wayan Martino, Agung Bawantara

Ini adalah festival anak muda yang paling ditunggu di Bali. Betapa tidak, sebagian gairah muda mendapat salurannya pada festival ini. Ya, perpaduan antara clothing, musik,dan berbagai aktivitas komunitas memberi ruang yang sangat besar bagi ekspresi dan gaya hidup anak muda masa kini. Yang terbaru, ajang tahunan ini digelar pada awal Maret 2017 di Lapangan Parkir GOR Ngurah Rai, Jalan Melati Denpasar. Saat ini, penyelenggara telah bersiap-siap lagi untuk penyelenggaraan di tahun 2018.

“Penyelenggaraannya kemungkinan di bulan yang sama lagi. Tapi itu tergantung situasi juga mengingat tahun depan adalah saat-saat Pilgub,” ujar Febry Iswara, Public Relation PICA.

Gelaran PICA berawal dari terbentuknya asosiasi pengusaha clothing indie pulau dewata atau Paradise Island Clothing Association (PICA) pada awal 2014. Asosiasi ini dibentuk untuk menyatukan para pemilik clothing di Bali dalam sebuah festival yang saling menguntungkan dan saling membesarkan. Lahirlah PICA Fest.

 

 

FOTO : Dok PICA FEST

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Begitu digelar, festival ini ternyata membuahkan sukses besar bagi seluruh anggota asosiasi. Selain kunjungan ke distro masing-masing, kunjungan ke festival ini terus meningkat dari tahun ke tahun.Bahkan, pada tahun 2017 lalu dengan yakin mereka menarget kunjungan sebanyak 20 ribu orang setiap hari, dan itu tercapai!

“Dalam empat hari festival total kunjungan sekitar 80 ribu hingga 90 ribu orang,” terang Febry.

Sebagai pembanding, ketika pertama kali digelar, PICA Fest 2014 “hanya” dikunjungi 20.243 orang selama tiga hari. Pada2015 meningkat menjad I 34.980 selama tiga hari. Dan, tahun 2016 meningkat menjadi 58.384 orang selama tiga hari.

Seperti tahun-tahun sebelumnya PICA Fest tidak hanya merangkul para anak muda penggiat clothing indie di Bali, tetapi juga melibatkan banyak sekali komunitas-komunitas kreatif Bali. Dari komunitas perduli lingkungan, otomotif, sosial, tattoo, fotografi tentu saja music dan komunitas lainnya.

 

FOTO : Dok Panitia PICA Fest

Tapi yang paling ditunggu-tunggu tentu saja produk fashion indie Bali terbaru.Apalagi para tenan yakni 56 brand ternama tidak segan member diskon dalam prosentase yang cukup besar.

Tenda khusus dari Bali Indie Movement yang mewadahi band-band indie Bali juga menjadi magnet besar dalam acara ini. Di tenda akan dijual produk-produk merchandise asli dan rilisan fisik dari band-band yang tampil di PICA Fest 2017. Kurasi pemilihan brand peserta festival dilakukan dengan memperhatikan banyak faktor, selain kualitas brand-brand ini juga harus secara aktif menunjukan eksistensinya.

Menampilkan 60 lebih grup band indie di Bali, selain sebagai festival clothing terbesar, festival ini pun bergerak menjadi festival band indie terbesar di Bali. Ada pun barisan band-band kondang yang tampil antara lain Lolot, Jonny Agung, Navicula, Scared Of Bums, Devildice, dan Dialog Dini Hari. Tampil juga pendatang baru yang memetikperhatian public yakni Zat Kimia, Rollfast, Marco, Dromme, Janggar dan Lili of The Valley.***

 

Spin Sugar – Putaran Manis Vinyl-vinyl di Hari Kamis

Spin Sugar

Sebuah komunitas pecinta musik, DJ, dan kolektor piringan hitam menggelar acara dwi mingguan bertajuk “Spin Sugar| Play Vinyl + Share Story” di sebuah café di Jalan Veteran, Denpasar. Bergiliran mereka memutar dan membicarakan koleksi rilisan fisik milik mereka dan cerita di sebaliknya.

 

 

Foto-foto : Istimewa

AB Antara

Hujan cukup lebat mengguyur Kota Denpasar Kamis malam itu.Tidak seperti beberapa ruas jalan lain di pusat kota yang menjadi tersendat begitu hujan turun, ruas Jalan Veteran justru lebih lengang dari biasanya. Entah kenapa, suasananya malah nyaris seperti jelang tengah malam.Hanya sesekali saja tampak kendaraan melintas. Toko-toko dan warung-warung pun tak ramai pengunjung.

Tapi tak demikian halnya dengan Voltvet Eatery & Coffee yang terletak di Jalan Veteran No. 11A, beberapa belas meter di sebelah utara Inna Bali Hotel, Denpasar. Di kafe mungil itu belasan pegiat kreatif dan peminat seni justru tampak tengah bergairah dalam diskusi. Kebetulan malam itu DJ Jay Dee memaparkan topik menarik yakni how toscratching vinyl, salah satu teknik dasar dan utama yang harus dikuasai seorang Disk Jockey (DJ). Setelah diskusi, meningkahi guyuran hujan, DJ Yoga menghibur pengunjung dengan lagu-lagu prog-rock (rock eskperimental) koleksinya.

Itulah gelaran Spin Sugar yang malam itu digelar untuk yang ke20 kalinya. Kecuali suasana lengang jalanan karena hujan, seperti itu pula suasana Spin Sugar pada volume-volume sebelumnya.

 

Foto-foto : Istimewa

Spin Sugar sendiri adalah acara dwimingguan yang digelar oleh komunitas pecinta musik, DJ, dan kolektor piringan hitam di Kota Denpasar dan sekitarnya. Acara biasanya digelar pada hari Kamis pekan pertama dan ketiga. Inisiator dari acaradan komunitas ini adalah Ridwan Rudianto dan Marlowe Bandem, dua sahabat masa remaja yang dikenal aktif dalam domain seni dan budaya kontemporer Bali.

DesakanKawan di Jepang

Awal mula pendirian komunitas ini tak lepas dari anjuran seorang teman Ridwan yang berdomisili di Jepang dan berbisnis vynil lawas di sana.Oleh sang teman, vinyl-vinyl tersebut antara lain dikirimke Jakarta untuk dipasarkan kepada para kolektor. Saatitu di Jakarta sudah terdapat banyak komunitas penggemar vinyl dan rilisan fisik yang bursa penjalannya antara lain di Pasar Santa.

Ridwan adalah kolektor vinyl dan rilisan fisik lainnya yang getol berburu ke berbagai penjuru negeri. Melihat itu, si teman menyarankan agar Ridwan sekalian saja membuka usaha penjualan vinyl di Bali. Saran itu sempat lama dalam pertimbangan sebelum akhirnya direalisasi saat musisi Bobby SID mendirikan Voltvet Café di pusat kota Denpasar. Di situlah Ridwan membuka counter vinyl lawas dan belakangan bersama Marlowe menggagas acara putar lagu bareng dan berbagi cerita untuk menjadikan tempat itu bukan sekadar bursa biasa. Lahirlah“Spin Sugar| Play Vinyl + Share Story”.

Konsep acaranya sederhana saja,  Spin Sugar mempersilahkan para penggemar vinyl untuk memutar satu-dua vinyl koleksi mereka kemudian menuturkan kisah di balik koleksi

tersebut, entah mengenai kisah mereka mendapatkan koleksi itu atau makna dari lagu-lagu yang terdapat di dalamnya bagi pribadi mereka sendiri.

“Yah, semacam ruang berbagilah kepada sesame penggemar, pecinta, dan kolektor rilisan fisik,” papar Ridwan.

Di luar itu Spin Sugar juga merupakan ajang pertukaran, penjualan dan pembelian rilisan fisik itusendiri. Jadi, semacam bursa jual-beli rilisan fisik berupa piringan hitam, CD dan kaset yang dalam dua decade terakhir ini telah menjadi barang langka.

Tak berapa lama setelah Spin Sugar digelindingkan, Andhika Gautama bergabung memperkuat formasi. Ketiganya kemudian menjadi trio penggerak acara yang mereka kukuhkan sebagai perayaan atas kecintaan terhadap musik, khususnya dalam format rilisan fisik seperti piringanhitam, CD,dan kaset.

“Sejauh ini, telah banyak penggemar, pecinta, dan kolektor rilisan fisik berpartisipasi memperdengarkan lagu-lagu dari piringan-piringan hitam koleksi mereka. Genre lagunya beragam, dari punk sampai funk, dari folk sampai deep-house,” imbuh Marlowe.

Tapi, tambahAndhika, hingga kini masih banyak kolektor yang enggan menuturkan kisahnya berkait koleksi-koleksi yang mereka punyai.Tapi dalam obrolan antar personal semuanya selalu tampak senang dan bergairah.Terutama dalam pemilihan lagu-lagu yang harus diputar dan didengar bersama-sama.

“Mereka bergantian menjad iselektor dan dalam berargumentasi saat memilih lagu menunjukkan kedalaman apresiasi musical mereka,” ujar Andhika sembari menuturkan bahawa dalam setiap gelaran rata-rata20 hingga 30 lagu diputar dan didengarkan bersama-sama.

Kini, sebagai orang yang memilikikoleksirilisanfisikpaling banyak, paling telaten, dan paling menguasaiberbagai info ihwalrilisanfisikdibandingkanpenggerak Spin Sugarlainnya, Andhika GautamadidapuksebagaiResident DJ darigelaranregulermerekaitu.

Ke depan, ketiga trio Ridwan, Marlowe dan Andhika bersepakat mengarahkan Spin Sugar untuk lebih dalam membahas hal-ha lpenting seputar rilisanfisik sedari hal-hal praktis mengenai rilisan fisik semisal kiat merawat koleksi piringan hitam hingga ke hal-hal lebih luas yang menjadikan setiap rilisan fisik memilik inilai yang berpuluh kali lipat nilai fisiknya.  Kelak, acara ini tak semata sebagai ajang persuaan sesama pehobi untuk berbagai kesenangan, melainkan juga sebagai ruang pergulatan pemikiran kreatif dalam suasana yang informal dan casual.

“Seriustapisantai,” ujarmereka.***

PARA MOTOR SPIN SUGAR

Ridwan Rudianto

Ridwan Rudianto

adalah seorang artistik-perfeksionis yang memiliki selera dan pengalaman musical tinggi, genre bergaris down tempo, IDM dan kidal. Ridwan disegani sebagai editor video andal dengan berbagai kolaborasi profil tinggi bersama Goenawan Mohamad dan Jay Subiyakto. Ia juga adalah sutradara video clip historis Superman Is Dead bertajuk "Punk HariIni" di tahun 2003. Ridwan juga mengelola toko musik mandiri dan toko barang seni di Denpasar.

Andhika autama

sudah mengoleksi music sejak usia 8 tahun. Di usia 21 tahun, Andhika menjadi Entertainment Manager dari Hard Rock Cafe Jakarta dan selama berkiprah di sana ia berhasil mendatangkan 30 artis internasional seperti No Doubt, Def Leppard, Steve Vai, Toto dan Back Street Boys. Di usia 28, Andhika menjadi A & R Manager dari Universal Music di Indonesia, dan berhasil membuat album kedua Elements meraih Triple Platinum. Kini menetap di Bali, Andhika aktif di bisnis hiburan lewat Westside Entertainment.

Marlowe Bandem

Marlowe Bandem

mengakrabi DJ-ing saat studi di Perth, Australia Barat di tahun 1994. Setibanya di Bali, Marlowe menjalankan acara DJ MIX “Deeper Shades of Wax”. Marlowe juga pengendara sepeda yang getol, Manajer dua bank mikro dan Wakil Ketua Yayasan Widya Dharma Shanti yang mengawasi STIKOM Bali, perguruan tinggi ICT terbesar di Bali. Ia adalah bagian dari tim penelitian Bali 1928 yang dipimpin oleh ahli etnomusikologi, Dr. Edward Herbst, yang saat ini bekerja untuk memasarkan kembali rekaman musik, film, danfoto Bali lama, mulai dari arsip, perpustakaan, universitas, dan koleksi pribadi di luar negeri.***

 

 

Bali dalam Lintasan Sejarah Jazz Indonesia

Sebagai pulau yang indah dan lekat dengan aktivitas kreatif, Bali mempunyai tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Berikut sekelumit catatannya.

Agung Bawantara

Bali punya tempat khusus dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Sejak awal-awal aliran musik ini berkembang di Tanah Air, Bali telah turut tercatat dalam lembaran sejarahnya. Sekali pun dalam catatan itu posisi Bali bukan dalam keterlibatan musisinya untuk turut mewarnai blantika jazz Indonesia, melainkan sebagai pulau yang keindahannya menginspirasi para musisi jazz terbaik di Indonesia membuat sebuah album –belakangan menjadi sangat legendaris— bertajuk “Djanger Bali”. Rekaman itu dibuat di sela-sela perjalanan mereka melakukan tur konser di Eropa.

Kisah lengkapnya, begini. Pada 1967 kelompok jazz Indonesia bernama Indonesian All Stars yang terdiri atas Jack Lesmana (gitar), Bubi Chen (piano, zither), Maryono (saxophone, flute, suling), Jopie Chen (double bass) dan Benny Mustafa van Diest (drums) melakukan tur konser menjelajahi berbagai kota di Jerman Barat (saat itu) selama kurun waktu hampir sebulan. Pada tur tersebut mereka bermain jazz nyaris tanpa henti. Mereka tampil di berbagai acara pentas musik di negara itu termasuk di Berlin Jazz Festival. Di sela-sela acara tur yang padat itulah para musisi jazz terbaik Indonesia tersebut mendapat tawaran membuat rekaman album. Tawaran tersebut datang dari seorang tokoh dan produser jazz di Jerman, Joachim Berendt, yang terpesona pada musikalitas Jack Lesmana dan kawan-kawan itu. Joachimlah yang kemudian berperan sebagai produser album yang diberi tajuk Djanger Bali tersebut.

Foto By Dwi Artana

Selama dua hari, pada 27 dan 28 Oktober 1967, di kota Berlin para musisi jazz kebanggaan Indonesia itu melakukan sesi rekaman untuk MPS/Saba Record yang kemudian menghasilkan sebuah album berkonsep East meet West yang perwajahan sampulnya mengambil nukilan salah satu relief di Candi Borobudur. Dalam album itu beberapa instrumen musik tradisional Indonesia seperti suling bambu, kecapi dan zither dihadirkan. Indonesian All Stars banyak melakukan eksperimen dan eksplorasi saat penggarapan album monumental tersebut. Jack Lesmana misalnya, melakukan eksplorasi dengan memainkan nada rendah pada gitarnya untuk menyiasiati penggantian bunyi gong. Dan hasilnya memang cemerlang, tanpa gong nuansa etnik Bali bisa tercipta.

Jazz di Indonesia

Sejatinya musik jazz pertama kali masuk ke Indonesia pada 1930-an diperkenalkan oleh musisi-musisi Filipina yang bekerja di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mereka memainkan musik jazz dengan ritme latin, seperti boleros, rhumba, dan samba. Musik jazz semakin dikenal publik Indonesia ketika pada 1948 sekitar enam puluh musisi Belanda datang ke Indonesia untuk membentuk orkestra simfoni yang beranggotakan musisi lokal. Sejak itu grup musik jazz baru pun mulai bermunculan, seperti The Progressive Trio, Iskandar’s Sextet dan The Old Timers and Octet.

Pada 1955 muncul lagi kelompok Jazz Riders yang dibentuk oleh Bill Saragih. Pada saat bersamaan, di Surabaya, Jack Lesmana mendirikan pula grup musik jazz. Dan, di Bandung bermunculan musisi jazz seperti Eddy Karamoy, Joop Talahahu, Leo Masenggani, dan Benny Pablo.

Memasuki tahun 1980-an, musik jazz di Indonesia makin berkembang pesat dengan munculnya musisi dan penyanyi jazz seperti Benny Likumahuwa, Ireng Maulana, Luluk Purwanto, dan Elfa Secioria. Berbagai kombinasi antara musik jazz dengan genre lain pun mulai bermunculan. Fariz RM, misalnya, mampu menciptakan perpaduan musik antara pop jazz dengan latin. Pada era yang sama, Indra Lesmana, Donny Duhendra, Pra B. Dharma, Dwiki Darmawan, dan Gilang Ramadan membentuk kelompok musik bernama Krakatau, yang kemudian bertransformasi dengan mengganti beberapa personil.

Pada dekade inilah tampil musisi Bali, Dewa Budjana, yang turut memberi warna pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Ia hadir berbarengan dengan Andien, Maliq & D’essentials, Tompi, dan Syaharani. Kehadirannya memberi warna baru karena menggabungkan jazz dengan genre musik lain seperti pop, rock, fusion, dan lainnya.***

Perjalanan Musik Jazz di Bali

  • 1996 Jazz Café berdiri di Ubud diprakarsai promotor music Jed Balaskas. Acara musik jazz pun mulai sering di selenggarakan di Ubud, Sanur, Seminyak, dan Kuta.
  • 9 Desember 2000 Bali Jazz Parade digelar di Amphi Theatre Mal Bali Galeria, Menampilkan antara lain Balawan, batuan Ethnics Fusion, Dewa Budjana Trio, Flowing Rhythm dan Bertha. Acara diinisiasi oleh Bali Jazz Forum yang dimotori Arief “Ayip” Budiman
  • 14-15 April 2001 Bali Jazz Forum menggelar Bali Jazz Fiesta di Sand Island Hard Rock Hotel dengan acara utama Konser Indra Lesmana-Reborn. Tampil dalam acara itu grup jazz Bali : Three Musguitars, Kayane band, dan Jiwa Band
  • 18-20 November 2005 Bali Jazz Forum kembali menggelar Bali Jazz Festival menghadirkan 38 grup jazz dari 10 Negara
  • 2009 Ito Kurdhi (musisi), Grace Jeanie (pengusaha event organizer), Denny Surya (pengusaha radio), dan Yuri Mahatma (musisi) mendirikan Bali Jazz Cummunity (BJC ) yang memrakarsai pementasan-pementasan jazz dan membuat Bali sebagai destinasi penting musik jazz di Indonesia.
  • 2013 Yuri Mahatma dan Anom Darsana (pemilik Antida Music Productions) memrakarsai Ubud Village Jazz Festival (UVJF). Festival ini menggabungkan nada groovy dan harmoni jazz dengan suasana artistik dan suasana pedesaan tradisional Ubud yang damai.
  • 8 Maret 2014 The Bali Live International Festival diselenggarakan di Taman Bhagawan, Tanjung Benoa. Acara ini merupakan kelanjutan Java Jazz Festival 2014 di Jakarta. Tampil dalam acara tersebut antara lain Earth Wind and Fire Experience, Al McKay, Incognito, Omar, Estaire Godinez Ft Stockley Williams, Robert Turner, Tania Maria, Jim Larkin, Israel Varela, Yeppy Romero, dan musisi dalam negeri Nita Aartsen, Balawan, Rio Sidik, dan Sandy Winarta.
  • 15 September 2016 Balawan membuat kolaborasi jazz dengan musik tradisional Bali pada ajang Denpasar Festival sebagai rintisan Denpasar Jazz Festival yang akan digelar tiap tahun. Konsepnya mempertemukan gambelan/karawitan dengan instrument modern dalam kemasan jazz. Juga mempertemukan musisi nasional dan pemusik lokal. Sayangnya acara ini tidak berlanjut.
  • 14-16 Juli 2017 Indra Lesmana bersama IB Gde Sidharta Putra menghadirkan Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang merupakan puncak perayaan dari pentas serupa dengan skala kecil selama 52 kali dalam setahun. SMJF menampilkan bintang-bintang jazz terkenal seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana, Idang Rasjidi, Tohpati, Ito Kurdhi, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. ***

 

Dari Bali Merawat Spirit (Jazz) Indonesia

Foto by Dwi Artana

Sebuah rangkaian helatan musik jazz digelar di Sanur. Namanya Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF). Festival ini seperti puncak selebrasi dari rangkaian acara serupa berskala lebih kecil yang digelar sepanjang tahun. Bergandengan dengan Surya Sewana, SMFJ diharapkan jadi magnet baru festival music jazz di Indonesia. 

 

 

Agung Bawantara

Matahari belum menampakkan diri. Hanya cercah cahaya jingganya saja semburat menerobos ufuk nun jauh di seberang. Di langit, bulan pucat separuh bayang dan bintang timur masih enggan pulang.  Tapi pagi itu, Minggu, 16 Juli 2017, Indra Lesmana telah memulai aksinya di panggung pertunjukan yang berdiri anggun di bibir pantai, persis di seberang  Griya Santrian Hotel, Sanur. Ia bersama musisi Dewa Budjana (gitar), Indra Gupta (bas), Sandy Winarta (drum), Christie (sequencer) dan penabuh gamelan Bali tampil begitu khidmad menyuguhkan repertoar “Surya Sewana” yang tediri lima part yang dilengkapi liuk gemulai empat penari dan asap dupa di depan panggung.

Gelaran berdurasi 50 menit tersebut seolah ritual menyambut pagi dari Indra dan kawan-kawan  untuk memancarkan vibrasi kedamaian dan persaudaraan ke seluruh semesta melalui alunan musik dan lagu jazz. Istilah “surya sewana” sendiri sejatinya merupakan ritual menyongsong matahari yang dilakukan para Sulinggih (pendeta Hindu) di Bali setiap pagi.  Dalam ritual tersebut mereka merapal doa-doa kedamaian dan keselamatan bagi semesta raya.

Di seberang panggung tampak ratusan penonton dari berbagai bangsa menyaksikan pentas pagi itu dengan penuh antusiasme.  Mereka tampak larut dalam suasana damai dan teduh namun tetap memancarkan harapan itu.

Itulah sekelumit suasana hari ketiga Sanur Mostly Jazz Festival (SMJF) yang digelar pada 14-16 Juli 2017 lalu.

Foto by Dwi Artana

Foto by Dwi Artana

 

 

Foto by Dwi Artana

 

SMJF ini digagas oleh musisi jazz Indra Lesmana dan Ketua Umum SVF Ida Bagus Gde Sidharta Putra (Gusde) sebagai sebuah festival musik jazz yang tak hanya merayakan musik jazz semata, tetapi sebagai peristiwa kebudayaan yang menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan pelestarian lingkungan.

Secara keseluruhan, sejak hari pertama hingga hari terakhir, SMJF memang  terasa sebagai sebuah helatan musik jazz yang istimewa. Selama tiga hari panggung festival ini ditaburi bintang-bintang musik jazz sohor seperti Koko Harsoe Trio, Balawan, Yuri Mahatma, Nancy Ponto, Dewa Budjana Zentuary, Idang Rasjidi, Nesia Ard,  Sandy Winarta Trio, Tohpati, Ito Kurdhi Chemistry, Sandhy Sondoro, Oele Pattiselanno Trio , dan Margie Segers. Para bintang musik jazz itu tak semata menyuguhkan permainan terbaiknya kepada penonton, tetapi membangun nuansa perdamaian dan persaudaraan.

“Melalui festival ini kami berupaya menjadikan musik jazz sebagai media penyampai pesan kebudayaan, kemanusiaan, dan lingkungan. Jadi lebih dari sekadar festival musik,” ujar Gusde yang di amini Indra di sela acara.

Hal itulah yang membuat penonton dan para musisi yang terlibat terkesan. Musisi Idang Rasjidi, misalnya,  memuji festival perdana ini sebagai festival istimewa yang menghadirkan pertunjukan unggul yang menempatkan potensi setempat di barisan depan. Terlebih di sela acara diadakan aksi lingkungan seperti pelepasan tukik dan bersih-bersih pantai.

“Interaksi seperti itu membuat musisi dan penonton merasa terlibat dalam peristiwa budaya yang dikemas dalam suatu festival jazz,” papar Idang.

Pada festival ini penonton dipungut tiket Rp300ribu per hari atau Rp500 ribu untuk terusan selama dua hari. Harga itu sudah termasuk

 

hidangan santap malam. Sedangkan pertunjukan Surya Sewana pada  hari terakhir, tidak dipungut bayaran. SMJF ini merupakan selebrasi Mostly Jazz yang telah diselenggarakan sebanyak 52 kali sekaligus mengawali kegiatan Sanur Village Festival (SVF) yang dihelat 9-13 Agustus 2017.

Sanur yang “Jazzy”

Tentang suasana Sanur yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan festival ini, musisi Dewa Budjana mengatakan bahwa kawasan Pantai Sanur yang tenang dan damai sangat pas untuk penyelenggaraan festival jazz. Apalagi karakter wisatawan asing di kawasan ini cenderung menyukai musik berkelas yang tidak ingar-bingar.

“Saya berharap festival ini berlanjut sebagai semacam monumen untuk menjaga spirit musik jazz Indonesia yang dipelopori oleh Jack dan Nien Lesmana, orang tua Indra,” harap Bujana.

Indra sendiri mengaku sejak hijrah ke Bali akhir 2014 ingin menyurahkan perhatian khusus bagi perkembangan jazz melalui edukasi dan regenerasi. Bersama istrinya, Hon Lesmana, dan Gusde ia lantas mendirikan Sanggar Musik Indra Lesmana di Jalan Waribang Denpasar dan menggelar konser Mostly Jazz setiap dua pekan sekali di pinggir pantai Griya Santrian Resort, yang sekaligus menjadi titik temu komunitas jazz.

“Melalui sanggar, Mostly Jazz, dan festival ini saya meyediakan ajang pembelajaran bagi talenta muda dan mempersiapkannya masuk dalam belantika jazz sesungguhnya,” ucap Indra sembari berharap  SMJF dan “Surya Sewana” bisa menjadi magnet baru di antara puluhan festival jazz yang secara reguler telah digelar di Nusantara.

“Pertunjukan musik  jazz menjelang sunrise sangat pas bagi Sanur yang dijuluki the morning of the world,” tegasnya.**

 

 

KPK Gelar Festival Anti Korupsi di Denpasar

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan beberapa komunitas akan melaksanakan puncak Festival Anti Korupsi di Kota Denpasar. Festival itu akan berlangsung di Lapangan Taman Kota Lumintang pada 9 Desember 2017.

Menurut Spesialis Madya Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK  Indraza Marzuki, Festival Anti Korupsi yang digelar pertama kali di Bali ini bertujuan untuk meminimalisir jumlah korupsi di Indonesia.

“Melalui berbagai kegiatan kreatif dan seni kita gemakan pesan anti korupsi guna membangun budaya jujur dan bersih dalam segala hal pada masyarakat Indonesia,” ujar Indraza.

Usai beraudensi dengan Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra, Senin (13/11), Indraza Marzuki mengatakan festival ini sengaja melibatkan semua komunitas di Bali, agar menggelorakan anti korupsi kepada seluruh komponen masyarakat. ”Kegiatan festival ini akan menampilkan fotografi, teater, puisi, mural, komik, poster, video art, jingle radio, majalah dinding, karya jurnalistik, cerdas cemat dan sebagainya,” terangnya.

Ketua Panitia I Nyoman Mardika mengatakan, kegiatan ini mengandeng beberapa komunitas. Masing-masing komunitas telah membuat kegiatan yang akan ditampilkan pada puncak acara,” ujarnya.

Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan, kegiatan ini untuk meminimalisir dan mengatasi anti korupsi. Kegiatan ini juga dipublikasikan melalui Pro Denpasar, sehingga masyarakat mengetahuinya dan bisa hadir menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan dalam Festival Anti Korupsi tersebut.

“Untuk memperlancar kegiatan ini, kami di Pemerintah Kota Denpasar siap membantu memfasilitasi,” ujar Rai Mantra.

Sebanyak 16 komunitas di Pulau Dewata berkolaborasi dengan KPK menggemakan gerakan antikorupsi ini. Komunitas-komunitas tersebut adalah Kompilasi Musik Antikorupsi, Jatijagat Kampung Puisi Bali, Komunitas Teater Bali, Komunitas Pojok, Komunitas Djamur, Platiscology Community, Komunitas Ruang Asah Tukad Abu, Lingkara Photography Community, AJI Denpasar, Bintang Gana, Luden House, Komunitas Seni Lawan Korupsi, Rumah Sanur Creative Hub, Komunitas SAMAS Bali, Manikaya Kauci, dan Komunitas Hutan Film Festival.

Puncak Festival Antikorupsi dilaksanakan 9 Desember 2017. Namun sebelum itu serangkaian kegiatan telah dilaksanakan oleh masing-masing komunitas yakni fotografi, teater, puisi, mural, komik, poster, video art, jingle radio, majalah dinding, dan esai.

Koordinator Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Muryono Prakoso mengatakan partisipasi publik merupakan salah satu kunci untuk menangkal korupsi. Dengan melibatkan publik dalam kegiatan kampanye antikorupsi ini, nantinya masyarakat dapat turut aktif melakukan kontrol. Melihat di Bali terdapat banyak komunitas  dengan beragam aktivitas dan kreativitas serta mengakar, maka dirasa cukup strategis menyampaikan pesan antikorupsi kepada masyarakat melalui komunitas-komunitas tersebut melalui kegiatan-kegiatan sederhana.

“Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, tidak semata dengan kegiatan yang besar-besar, karena kalau publik hanya adem-ayem, tentunya tidak merasa punya peran dalam kegiatan penyelamatan negeri dari bahaya korupsi,” tandas Muryono.

Navicula Kolaborasi dengan Musisi Aborijin di Mapping Melbourne

BAND rock asal Bali Navicula akan menggelar tur ke Australia dan berkolaborasi dengan musisi Aborijin pada November hingga Desember 2017. Navicula akan tampil di beberapa acara, salah satunya Mapping Melbourne yang digelar oleh Multicultural Arts Victoria (MAV) di Testing Grounds, City Road, Southbank pada 8 Desember.

Di Mapping Melbourne Navicula akan berkolaborasi dengan musisi aborijin Kutcha Edwards dan Robbie Bundle. Navicula bersama Edwards dan Bundle akan terlibat dalam rangkaian aktivitas kesenian dan workshop bersama seniman lain di Lake Tyers, East Gippsland, Victoria pada akhir November.

Navicula akan tiba di Melbourne 23 November dan langsung menuju Lake Tyers. Gede Robi, vokalis dan gitaris Navicula mengatakan sangat antusias pada rencana kolaborasi.

“Dapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan musisi Aborijin mengingatkan kami pada akar budaya Bali dan pentingnya untuk tetap terhubung dan menghormati budaya lama,” kata Robi.

Navicula dikenal sebagai band yang aktif terlibat dalam gerakan sosial dan lingkungan. Bahkan band ini dijuluki sebagai Green Grunge Gentlemen karena pesan-pesan dalam musik mereka sarat tema lingkungan. Robi mengharapkan kolaborasi dan aktivitas bersama komunitas seni dan masyarakat Aborijin di Lake Tyers akan memperkaya wawasan lingkungan mereka.

“Ketika kami mencari-cari solusi untuk banyak masalah masa kini, termasuk konservasi lingkungan, kami sering menemukan kalau solusi sudah ada lama pada masyarakat asli. Peran kami sebagai generasi yang lebih muda bisa lebih sederhana dengan belajar dari komunitas-komunitas ini dan memberdayakan kearifan mereka,” kata Robi.

Navicula akan datang bersama tim dari Kopernik, lembaga nirlaba berbasis di Ubud, Bali yang memusatkan diri pada pencarian solusi untuk mengurangi kemiskinan. Solusi itu bisa didorong dengan teknologi -baik fisik maupun informasi dan komunikasi- dan pendekatan yang diinpirasi dari prilaku. Kopernik banyak melakukan distribusi alat teknologi yang sederhana dan terjangkau untuk masyarakat desa seperti lampu tenaga surya dan saringan air.

Aktivitas kolaborasi di Lake Tyers difasilitasi oleh organisasi seni dan perubahan sosial FLOAT dan Wurinbeena. “Pertukaran ide secara internasional dan regional sangat vital. Kami telah menguji coba model pengembangan ekonomi yang cocok untuk komunitas kami, dan mengeksplorasi tata guna lingkungan yang kreatif. Bekerja dengan Navicula dan Kopernik adalah kesempatan yang sangat seru,” kata Andrea Lane, produser FLOAT.

“Wurinbeena menyambut musisi Indonesia Navicula untuk berkolaborasi dengan komunitas kami dan Kuthca Edwards dan Robbie Bundle. Keren,” kata Lennie Hayes, seniman Gunyah.

Robi dan Ewa Wojkowska, pendiri Kopernik akan berbicara di Indonesia Forum Melbourne University 28 November dan Asia 21 Summit, pertemuan pemimpin muda Asia Pasifik di RMIT, 29 Novemberhingga 1 Desember. Selain Melbourne, Navicula juga akan tampil di Sydney, Byron Bay dan Brisbane.

Ini merupakan tur kedua bagi Navicula ke Australia. Band ini pernah tampil Sydney Festival 2013. Navicula juga pernah tur ke Kanada dan Amerika Serikat. Pada tahun 2012 Navicula memenangkan kompetisi RØDE Rocks dari produsen microphone RØDE berbasis di Sydney. Hadiahnya Navicula diterbangkan ke Los Angeles untuk rekaman di studio Record Plant di Hollywood.

Navicula saat ini tengah menggarap album ke-9 mereka, di studio sekaligus markas mereka di Ubud, Bali. Album ini rencananya akan berjudul Earthship. ** Alfred Ginting

 

Mimpi Besar Vana di Musik Bali

BICARA soal musik di Bali, bisa dibilang semua daerah punya potensi. Hanya selama ini lebih banyak muncul dan dibicarakan dari beberapa kota saja. Salah satu daerah yang juga potensial di musik namun belum banyak tergarap dan dipublikasikan adalah kabupaten Jembrana. Salah satu potensi itu adalah Vana band yang berasal dari Kota Negara. Mendekati makna namanya, band ini punya mimpi besar di kancah musik khususnya di Bali.

Awalnya saat dibentuk 2013, memainkan musik dengan format akustik, sempat gonta ganti personel, hingga akhirnya 2015 memutuskan untuk mengusung musik rock alternatif dengan lirik lagu berbahasa Bali. Jadilah kemudian Vana melangkah dengan harapan baru, didukung personel Nata (vokal, gitar ritem ), Zee (gitar melodi ), Hans (bass), dan Bayu (drum). “Kami berempat sepakat di jalur musik Bali karena kami ingin turut melestarikan lagu berbahasa Bali dalam balutan musik rock,” jelas Hans, bassist Vana kepada mybalimusic.com.

Tak hanya sekadar bermusik, sebagaimana juga band lain, Vana punya keinginan kuat untuk bisa dikenal secara luas baik di Bali maupun kota lain. Karenanya menghasilkan karya sendiri dan mempublikasikannya secara luas menjadi target utama. Hingga awal tahun ini, Vana berhasil mewujudkan keinginan memiliki album sendiri dengan merilis “Astungkara”. Menyodorkan lagu yang sebagian besar mengambil tema keseharian, Vana juga merilis tiga video klip untuk lagu “Kasta”, “Percuma”, dan “Sing Masalah”.

“Lagu- lagu yang kami ciptakan bercerita tentang realita kehidupan sehari-hari, tapi ada juga yang memang pengalaman pribadi dari personil tentang cinta. Vana yang dikreasikan dari kata fana yang berarti mimpi nyata, sama dengan tujuan kami yang ingin mewujudkan mimpi besar dalam karya kami di musik,” jelas Hans.

Lagu-lagu lain dari Vana sebut misalnya “Menyama”, “Mekenyem”, “Isin Gumi”, “Jual Mahal”, “Sing pantes”, “Egois”, “De to pikir”, “Om Swastiastu”, dan “Astungkara”. Selain mengisi berbagai acara pentas baik di kota Negara maupun kota lain di Bali seperti Denpasar dan sekitarnya, saat ini Vana juga mulai mempersiapkan materi lagu baru dan merencanakan penggarapan video klip terbaru.***

Source: Balimusic.com

Lama Istirahat, KIS Band Luncurkan ‘Teman Sahabat Hati’

Seluruh personel Kis Band saat jumpa pers peluncuran album Teman Sahabat Hati

SETELAH cukup lama vakum, blantika musik Bali kembali dimarakkan oleh kehadiran album baru KIS Band bertajuk ‘Teman Sahabat Hati’yang diluncurkan di bawah bendera Warung Mina Music Production. Mengusung 12 lagu, album kelima KIS Band ini diluncurkan pada Selasa (11 Juli 2017), di Boshe VVIP Club Bali.

Sebelum meluncur secara lengap ke publik, album besutan grup band yang berdiri tahun 2010 ini diawali dengan meluncurnya single berjudul ‘Kau Tak Seperti Yang Dulu’ karya Krisna Purpa di Masakan Rumah Etnic, Jalan Dewi Sri, Kuta, Badung, Jumat, 26 Mei 2017.

Adapun 12 lagu tersebut di antaranya, Teman Sahabat Hati (TSH), Kau Tak Seperti yang Dulu, Sirik, Hujan, The dan Pelangi, Jangan Lupa Bahagia, Sudahlah (feat Tiari Bintang), Dek Juwet Manis, Kangen Dot Mulih, Tarjo-Ponpon, dan Tanjung Cinta.

Menurut Krisna Purpa, vokalis yang menjadi magnet utama KIS Band , rampungnya album ini menjadi kado special bagi dirinya. Maklum, album kelima ini terbit berbarengan dengan kelahiran buah hati yang telah lama ia nanti-natikan.

“Suatu kebahagiaan yang amazing yang saya rasakan dalam hidup sampai umur 37 tahun ini. Setelah bersabar selama delapan tahun menunggu momongan, akhirnya Hyang Widhi mengabulkan keinginan kami. Dan, melalui album ini saya berbagi kebahagiaan dengan public pendengar lagu-lagu saya” tutur Krisna.

Menurut Krisna, album ini menghadirkan lebih banyak lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada lagu berbahasa Bali. Harapannya tentu agar dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas. Tidak hanya untuk masyarakat Bali saja. Dari 12 lagu yang ada baru tujuh di antaranya telah memiliki video klip. Meski demikian, pengerjaan album ini memakan waktu cukup lama.

“Tak kurang dari setahun kami berproses menggarap lagu dan video klipnya,” papar Krisna.

Selama kurun tersebut, menurut Krisna, cukup banyak dinamika yang mereka hadapi. Tapi karena kebersamaan mereka telah tertempa selama  tujuh tahun lebih, maka segala hambatan dan tantangan justru menjadi bahan bakar untuk mematangkan gagasan-gagasan yang muncul dari dinamika itu.

Bagi Produser album ‘Teman Sahabat Hati’, Wayan Agus Setiawan, mengatakan judul Teman Sahabat Hati memiliki makna yang tak biasa. Itulah yang membuatnya tidak ragu untuk menjadi produser album ini. Menueurtnya, ketika persahabatan di era yang serba cepat dan materialistis ini menjadi istilah pemanis bibir dan dan pengisi pikiran semata, maka persahabatan dengan bahasa hati menjadi semacam oase yang menyegarkan. Persahabatan menjadi lebih dalam maknanya.

“Maka mendengarkan lagu-lagu ini, kita harus bawa pelampung, karena lagunya dalam, supaya tidak tenggelam,” selorohnya.

Yang istimewa, dalam album ini, lagu Teman Sahabat Hati juga turut menggandeng Gung Gepenk sahabat lama Krisna Purpa yang pernah bergabung dalam D’Ubud Band, sebagai special perfomance.  Ini merupakan cerminan rasa persahabatan sebagai sesama musisi di mana persaingan dalam melahirkan karya-karya hebat bukanlah saling menjatuhkan melainkan saling memuliakan. Saling mewangikan.

“Banyak  masyarakat mikir, karena D’Ubud sudah bubar, lalu kita pisah temenan. Kita masih selalu komunikasi, cuma di musik saja kita nggak ketemu keep-nya. Kebetuan Teman Sahabat Hati ini, waktu satu bulan tujuh hari anak saya, saya sempat nawarin dia.  Akhirnya Gung Gepenk merasa cocok dengan lagu itu, dan kita rekaman,”papar Krisna.**

 

Biomusic KIS Band

  • Berdiri :  2010
  • Personel : Krisna purpa (vokal), ADP (drum), Genji (bass), Putu Karna  (gitar) dan Tiari Bintang (vokal).
  • Album sebelumnya: #1 (2010), Jahat (2012), Sakit Jiwa (2013) dan Story of Me (2014).
  • Tembang Hits: Secret Lover, 2501, Timpal Curhat, Dije Jani Adi, Sabar, Si Bodoh, Ingat Kamu, Jauh Panggang dari Api, Kita Pasti Bisa, Hati-hati, Berbohonglah. 

 

Kebersamaan dalam Keberagaman di Alunan Jazz

Musisi Indra Lesmana (kiri) dan Dewa Budjana (kanan) saat Festival Jazz “Surya Sewana” di tepi pantai kawasan Griya Santrian Sanur, Minggu (16/7/2017) Foto: Istimewa/Inibali.com

INILAH gelaran pertama festival Jazz bernuansa pantai. Mengusung tema “Bhinneka Tunggal Ika” festival ini memancarkan fibrasi indahnya kebersamaan di tengah perbedaan melalui atraksi musik yang memesona hati. Adalah Griya Santrian Group dan Sanggar Musik Indra Lesmana berkolaborasi menggelar Sanur Mostly Jazz Festival  pada 14-16 Juli 2017 di Pantai Griya Santrian Hotel, Sanur Bali. Sejumlah musisi tampil di dua panggung selama dua malam pada festival tersebut. Para musisi itu antara lain Balawan, Dewa Budjana, Zentuary, Indra Lesmana, Surya Sewana, Idang Rasjidi, Ito Kurdhi Chemistry, dan Koko Harsoe Trio.

Tampil pula musisi jazz kenamaan lainnya seperti Mergie Segers, Nancy Ponto, Nesia Ardi, Oele Pattiselano Trio, Sandhy Sondoro, Sandy Winarta Trio, Tohpati, Yuri Mahatma Quartet. Mereka semua tampil berelang-seling dengan penampilan sejumlah musisi muda berbakat.

Prakarsa penyelenggaraan festival ini datang dari tiga sosok yang sangat peduli pada perkembangan musik jazz di Bali. Mereka adalah musisi Indra Lesmana dan istri, Hon Lesmana, serta pengusaha kondang di bidang jasa wisata, Ida Bagus Gde Sidharta Putra.

Ada hal menarik dari Sanur Mostly Jazz Festival, yakni selain sebagai selebrasi atas kehadiran Sanur Mostly Jazz yang telah eksis dengan 48 kali tampilannya di Griya Santrian Hotel, juga ingin memberikan kesempatan kepada bakat-bakat muda yang lain untuk dapat juga perform, serta adanya kolaborasi lintas seni yang dapat membangun kreativitas baru melalui musik jazz.

Sanur Mostly Jazz Festival ingin meletakkan perhelatan musik ini sebagai bagian dari karakter desa dan masyarakat Sanur yang terbuka dan egaliter. Oleh karena itu pertunjukan musik ini tetap dikemas dalam panggung di tepi pantai.

  Kekuatan magis maupun ekologis pantai yang telah mengilhami keberadaan Sanur Mostly Jazz juga menjadi spirit dalam pelaksanaan festival. Untuk itu, di pelaksanaan festival ini penghormatan terhadap alam maupun aksi lingkungan hidup menjadi bagian penting yang tak terpisahkan.

Menurut Indra Lesmana kemasan Sanur Mostly Jazz Festival berupa “Creative Music and art Festival”. Artinya, festival ini menyediakan ruang kreatif bagi para seniman lintas dimensi, baik tradisional maupun modern yang nantinya diharapkan akan melahirkan karya-karya inovatif.

Sedangkan sebagai daya tarik utama, Sanur Mostly Jazz Festival akan menggelar tampilan musik jazz pada waktu dini hari atau menyambut matahari terbit. Program ini menurut Indra diakui baru pertama kali dihelat selama ia mengikuti festival jazz di banyak tempat.

Lebih jauh menurut Indra Sanur dikenal banyak orang, bahkan mendiang Perdana Menteri India Nehru mengatakan bahwa indahnya paginya dunia itu di Sanur atau “Sanur morning of the world”. Untuk itu kata Indra, ia sengaja menyiapkan konsep jazz “Surya Sewana” dalam menyambut paginya dunia dari Sanur melalui musik Jazz.

Diakui oleh Indra konsep garapan Surya Sewana mengadopsi bagaimana kegiatan para sulinggih atau Pendeta Agama Hindu di Bali yang selalu mendoakan alam jagad seisinya ketika terbitnya matahari agar penuh kedamaian dan keberkahan.

Sembari mengamini ucapan Indra, Sidarta Putra yang juga dikenal sebagai tokoh utama perhelatan Sanur Village Festival (SVF) mengatakan bahwa Sanur Mostly Jazz Festival  merupakan rangkaian acara menuju SVF 9-13 Agustus 2017. Itu sebabnya secara tematik Sanur Mostly Jazz Festival sama dengan SVF.

“Jadi bisa dikata bahwa Sanur Mostly Jazz Festival adalah program pembukauntuk  Sanur Village Festival 2017. Semacam ucapan selamat datanglah,” ujar Sidharta Putra yang akrab disapa Gusde itu

Lebih lanjut Gusde mengatakan bahwa masyarakat pecinta musik jazz setidaknya akan mendapat sajian porsi yang lebih dari program musik dan pagelaran seni di panggung SVF.

Melalui Sanur Mostly Jazz Festival diharapkan dapat membumikan kembali makna Bhinneka Tunggal Ika. Kita sangat paham kondisi negeri saat ini, dengan musik jazz semoga pula dapat mendekatkan serta merekatkan persatuan, persaudaraan, cinta dan kasih sayang sesama anak bangsa, tambahnya.

Mewarisi semangat jazz yang kreatif, interaktif, dan kolaboratif, Gusde berharap  momen musikal ini menghadirkan optimisme terhadap perubahan yang lebih baik melalui perspektif musik.

Seperti halnya improvisasi dalam jazz, kata Gusde, festival ini berambisi bisa menginspirasi kehidupan bukan hanya lingkup sosial yang kecil, melainkan menjangkau yang lebih luas: rakyat, bangsa dan negara.***

 

 

Mekar Bhuana, Penjaga Kelestarian Musik Bali

Musik (gamelan) dan tarian merupakan bagian unik dan penuh warna dalam kehidupan sehari-hari orang Bali.  Di Bali terdapat tak kurang dari 45 jenis orkestra gamelan di Bali dan ratusan tarian. Namun, sejauh ini hanya sedikit orang, bahkan orang Bali sendiri, yang menyadari bahwa beberapa bentuk seni ini telah langka bahkan terancam punah. Karena modernisasi, globalisasi, pariwisata yang salah arah dan cara hidup yang biasanya semakin cepat, tradisi yang lebih tua telah kehilangan popularitas – dalam beberapa kasus, hilang sama sekali.

Beruntung ada kelompok Mekar Bhuana yang aktif dalam dokumentasi, studi, rekonstruksi dan penampilan dari bentuk seni yang kaya dan menakjubkan, namun undervalued ini. Berdasarkan penelitian lebih dari 15 tahun, mereka bekerja sama dengan para guru senior dari desa-desa, juga musisi profesional dan penari, untuk mendokumentasikan, belajar dan mempopulerkan kembali tradisi yang hampir punah.

Merekah ke Seluruh Dunia 

Nama Mekar Bhuana sendiri berarti “merekah indah ke seluruh dunia”, nama ini mengandung harapan bahwa musik dan musik tarian kuno Bali yang mereka gali akan merekah kembali dan keindahannya merebak ke seluruh dunia.

“Semangat itulah yang menjadi daya gerak bagi Mekar Bhuana untuk terus mendidik anak-anak muda mengenai nilai-nilai intrinsik bentuk seni Bali yang lebih dari satu milenium yang lalu terinspirasi oleh keindahan alam dari lingkungan tropis pulau ini,” ujar Voughn Hatch motor utama Mekar Bhuana.

Menurut Voughn yang bergiat bersama istrinya, Evie Hatch,  Mekar Bhuana melakukan semua hal di atas dengan mengenalkan kepada anak-anak yang belajar di situ mengenai akar budaya mereka (Bali) di bidang pertanian dan bagaimana gaya hidup agraria ini melahirkan bentuk-bentuk seni yang kompleks yang terkenal di Bali hari ini.

Siswa Mekar Bhuana tidak hanya belajar tentang bentuk seni budaya Bali tapi juga bagaimana memahami dan merawat lingkungan pulau yang rapuh. Pusat kami bertujuan untuk menjadi nol limbah melalui pengomposan, daur ulang, bersepeda dan berkebun. Jika siswa dapat menghargai hal-hal ini, mereka juga akan lebih menghargai lingkungan artistik yang indah yang telah muncul sebagai hasilnya.

Secara umum tujuan Mekar Bhuana adalah meningkatkan kesadaran lokal dan internasional tentang bentuk seni pertunjukan Bali yang langka dan terancam punah; membantu mendorong desa dan pengadilan untuk melestarikan bentuk seni berharga mereka, termasuk instrumen gamelan asli, instrumentasi, gaya bermain, repertoar, kostum tari dan gaya local; mempelajari bentuk seni pertunjukan langka dari guru lokal dan merekonstruksi repertoar gamelan dari rekaman dan notasi – untuk merekam, mendokumentasikan bentuk seni pertunjukan yang langka.

“Kami juga bermaksud memproduksi dan mengedarkan CD, VCD dan DVD mengenai berbagai bentuk seni pertunjukan yang langka serta menjadikan diri sebagai pusat pelatihan di mana orang bisa datang dan belajar bentuk-bentuk seni langka ini. Kami ingin orang menghargai keindahan gaya musik dan tarian yang unik ini. Pemusik dan penari kami terus belajar dan mampu melakukan sejumlah gaya langka dari desa-desa di seluruh Bali,” terang Voughn.

Di luar itu, Mekar Bhuana ini turut berpartisipasi dalam melindungi hak dan kepekaan para seniman pertunjukan tradisional  serta menyediakan arsip lengkap bentuk seni pertunjukan tradisional yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan tempat di mana orang-orang yang menyukai gamelan dan tarian Bali dapat mengumpulkan, belajar dan berbagi pengetahuan dan pengalaman berharga mereka.

Saat ini, Mekar Bhuana berfokus pada musik dan tarian istana abad pertengahan, dengan belajar komposisi dari guru atau rekaman lama. Musisi kami kemudian memainkan musik di orkestra antik di tengahnya. Konsep pelestarian setia Mekar Bhuana sama dengan menciptakan museum hidup-seperti bermain Mozart dengan instrumen baroque. Di Bali, Mekar berarti ‘mekar’ dan Bhuana berarti ‘dunia’. Kami berharap bentuk seni kuno ini suatu hari akan berkembang lagi tidak hanya di Bali, tapi juga di seluruh dunia.***